Kisah Wali Allah Bernama “Kiai Cebolek”
Penulis : Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun
Tajuddin
Penerbit : PRENADA
Tahun terbit : Cetakan ke-1 Februari 2014
Jumlah Hal : xvi + 300 halaman
Resentator : Muhammad Fakhrur Riza
Kiai Cebolek adalah sebutan untuk
seorang ulama besar yang bernama Syekh Ahmad al-Mutamakkin. Beliau
disebut-sebut sebagai salah satu “Wali Allah” yang sangat berpengaruh pada zamannya.
Beliau juga diterima oleh masyarakat karena menggunakan strategi yang arif,
dengan menghormati khazanah tradisi lokal yang sudah mengakar. Kebijaksanaan,
kearifan, dan kedalaman wawasan keilmuan serta spritualitas Kiai Cebolek ini
yang menjadi modal penting dalam dakwah Islamnya di tanah Jawa.
Kiai Cebolek hidup sebagai ulama
besar di kawasan Desa Cebolek atau kampung Cebolek, sekitar 30 kilometer arah
utara kota Pati, Jawa Tengah. Dalam kajian sejarah sastra Jawa, nama daerah
tersebut sudah diabadikan dalam sebuah serat (treatise) yang disebut Serat
Cebolek. Sebuah kitab yang memuat kisah-kisah bararoma keagamaan dan
kekuasaan yang melibatkan sosok Kiai Cebolek melawan kekuasaan kerajaan.
Dari Sebagian kalangan, ada yang beranggapan bahwa Kiai
Cebolek mengajarkan Ilmu hakikat yang menyimpang dari Syari’at Islam. Bahkan derajat
kontroversinya disamakan dengan kontroversi yang ditimbulkan oleh Syekh Siti
Jenar. Kontroversi Kiai Cebolek merupakan salah satu dari contoh ketegangan
yang sudah ada sejak lama antara Islam legalistik (eksoteris) dan tasawuf
(esoteris). Hal itulah yang kemudian menjadi tema utama pembahasan dalam serat
cibolek ini.
Buku yang berjudul “Suluk Kiai Cebolek: Dalam Konflik
Keberagamaan dan Kearifan Lokal” karya Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun
Tajuddin ini mencoba mengurai kisah kontroversi dan kemasyhuran sosok Kiai
Cebolek. Ada tiga hal yang mempengaruhi kemasyhuran Kiai Cebolek yaitu Pertama,
Kiai Cebolek menguasai ilmu-ilmu keislaman (syari’ah), bidang kalam, bidang
fikih, dan bidang tasawuf. Kedua, Kiai Cebolek menguasai elemen-elemen
kebudayaan lokal yang bersifat non-islam, khususnya kisah pewayangan (kisah
Bima dan Dewa Ruci), dan memanfaatkan tradisi lokal itu sebagai medium untuk
menyampaikan ajaran islam tanpa melanggar ketentuan syariat yang sudah
dipahaminya. Ketiga, komitmen Kiai Cebolek pada gerakan kultural-kerakyatan
dengan tidak terpengaruh bingar-bingar kekuasaan yang banyak menggoda para
tokoh agama.
Terdapat sisi menarik dari buku ini, yaitu penulis telah
mampu memaparkan kosmologi kesufian Kiai Cebolek yang membentuk simetrisitas
relasi antara Allah, Manusia, dan Alam. Penulis telah menunjukkan temuannya,
berupa suluk Kiai Cebolek yang tidak tersusun dalam puisi-puisi seperti suluk
dalam teks kewalian sebelumnya, justru suluk Kiai Cebolek ditemukan dari
ornamen-ornamen pada langit-langit Masjid Kajen Pati. Pada ornamen-ornamen ini
terukir berbagai aneka alam lestari, misalnya, pohon, ular, burung, bulan,
matahari, manusia, dan beberapa unsur kelestarian alam. Keseluruhan ornamen ini
telah dikupas secara filosofis menjadi sebuah suluk kewalian yang bisa
membentuk keseimbangan jiwa dan kepribadian yang baik yang lebih ramah terhadap
lingkungan hidup.
Selain itu, dalam buku ini disinggung juga perspektif KH. Abudarahman
Wahid (Gus Dur) mengenai Kiai Cebolek, bahwa gerakan Kiai Cebolek diakui
sebagai gerakan “Pribumusasi Islam”. Sehingga kita bisa menengok cara-cara
konsep “Pribumusasi Islam” itu sendiri lewat pandangan Kiai Cebolek.
Pribumisasi yang diterapkan oleh Kiai Cebolek merupakan sebuah fase kesadaran
ide, yakni kesadaran atau realisasi tentang gagasan yang mampu membentuk sikap
dan kepribadinan individu yang direalisasikan dalam keimanan dan amal
perbuatan.
Dari apa yang telah dipaparkan,
secara sederhana buku ini bukan sekedar utopia atau juga bukan sekedar definisi
ideologis. Sebab dakwah yang dilakukan Kiai Cebolek yakni menembus langsung
dalam jantung eksistensial manusia, yakni totalitas manusia sebagai
“sebaik-baik ciptaan”. Melainkan dakwah yang menyentuh semua aspek mulai dari
amal perbuatan, pemikiran, kejiwaan, dan rohani itu sendiri.
Pembangunan perspektif dakwah dari
sosok Kiai Cebolek yang terkisah secara apik dalam buku ini, tentunya sangat
cocok sekali bagi kalangan muslim terutama di ranah Nusantara untuk membacanya.
Mengenal dan meneladani beliau sebagai ulama besar yang menjunjung tinggi
kearifan lokal serta amal perbuatan dan kerohanian melalui suluk-suluknya,
pastilah sangat diharapkan. Namun, bagi sebagian kalangan mungkin saja ada yang
menentang perspektif ini dengan alasan kontroversialnya Kiai Cebolek seperti
halnya Syekh Siti Jenar.
*pernah dipublikasikan di koran tempo edisi 31 januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar