Tan Malaka // doc. internet |
Oleh: Muhammad
Fakhrur Riza
“Tujuan
pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta
memperhalus perasaan” - Tan Malaka
Sistem
pendidikan dewasa ini telah memerangkap peserta didik dalam tekanan yang hanya
fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan pendidikan nasional yang tidak
memperhatikan peserta didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi, kelas
standar internasional, kelas excellent dan berbagai istilah lainnya
membuat peserta didik terasa terkekang oleh sistem pendidikan. Program-program
sekolah unggulan dengan memakai konsep sekolah terintegrasi, dengan waktu yang
padat telah merampas waktu anak-anak untuk sekedar bersantai, bermain, dan
memperluas pergaulan mereka. Sehingga mereka tidak memilki kecerdasan sosial
dan menjadi sosok individualis.
Dalam konsep
pendidikan Tan Malaka, aspek tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting.
Kekhawatiran akan anggapan bahwa kaum intelektual adalah kasta tersendiri telah
diantisipasi oleh Tan Malaka. Kaum intelektual masih banyak terpenjara di
kampus dalam idealisme dan teori-teori. Kehidupan kaum intelektual yang seakan
bertembok dengan rakyat tersebut masih tetap terasa walaupun sebenarnya
perguruan tinggi memiliki prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi
sebagai wadah kaum intelektual belum bisa diandalkan sebagai agen perubahan .
Ketika secara individu mereka masih berpikir bahwa kelas mereka lebih tinggi
daripada masyarakat banyak yang bergelut dengan kerasnya kehidupan sekedar mempertahankan
hidup.
Selain
kekhawatiran akan individualis kaum intelektual tersebut, Tan Malaka juga
khawatir terhadap sistem pendidikan di sekolah partikulier atau Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Gouvernment yang hanya akan menjadikan
pribumi sebagai buruh. Maka dari itu, menghapuskan pembelajaran berbau feodalis
merupakan langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus keterbelakangan dan
mental kuli bagi pribumi. Jika masa penjajahan mendidik pribumi hanya
didasarkan kepentingan imperialis sendiri, dalam artian setelah menyelesaikan
pendidikan mereka dipekerjakan sebagai pegawai rendahan saja. Tan Malaka ingin
pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar masyarakat memperoleh
bekal bagi penghidupannya. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan seperti:
pertanian, perdagangan, teknik, dan administrasi harus dibenahi kualitasnya.
Landasan
pemikiran Tan Malaka sendiri, banyak diwarnai oleh berbagai pemikirian filsafat
barat seperti marxisme, dialektika dan logika tercermin dalam gagasan pemikiran
Tan Malaka tentang dunia pendidikan yang semestinya bagi bangsa Indonesia. Dalam memaknai pendidikan melalui konsepsi
yang pernah dituturkan Tan Malaka dalam tulisan Sarekat Islam (SI) Semarang dan
Onderwijs. Ia beranggapan bahwa pendidikan harus terdapat tiga hal
penting:
Pertama,
yaitu memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan
(berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu). Dalam bahasa
yang lebih sederhana pendidikan harus mampu menciptakan seorang manusia yang
mempunyai kemampuan yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Profesional serta
terampil dalam bidang keilmuan yang digeluti, baik dalam ilmu eksak maupun non
eksak. Sehingga, pendidikan akan mampu memberikan bekal pada seorang peserta
didik sebagai senjata untuk hidup.
Kedua,
Memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging).
Dalam pengertian ini yang dimaksud Tan Malaka adalah memberikan kebebasan bagi
peserta didik agar berkembang sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya,
melalui perkumpulan-perkumpulan yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
Ketiga,
menunjukkan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum kromo. Pendidikan
dalam pengertian Tan Malaka, tidak hanya sekedar untuk mendapatkan pengetahuan
dan kepandaian otak saja. Melainkan, pendidikan harus mampu memberikan bekal
pada peserta didik untuk melakukan pengabdian terhadap masyarakat.
Pendidikan
praksis Tan Malaka tersebut diwujudkannya di sekolah Sarekat Islam (SI). Sekolah SI berprinsip bahwa hawa
(geest) harus lebih sehat dan memiliki karakter ketimuran yang
membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik dituntut keras untuk mencari
kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal penghidupan. Konsep
pendidikan Tan Malaka ini sangat sederhana dalam konteks kekinian, tetapi
tentu merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI.
Dalam
mewujudkan konsep pendidikannya tersebut, Tan Malaka kemudian merumuskan
beberapa gagasan pedagogi bagi kaum pribumi diantaranya adalah Jembatan Keledai.
Jembatan keledai (ezelbruggeetje) adalah sebuah konsep mengingat isi
buku yang meringkas sebuah pemahaman akan buku dengan singkatan, tanpa harus
menghafal. Jembatan Keledai diciptakan dan diterapkan Tan Malaka, setelah dia
merasa kesulitan akan ketergantungannya kepada berpeti-peti buku yang harus
terus dibawanya dalam pelarian, maka kata kuncinya adalah, harus menguasai
buku-buku yang dibaca, selanjutnya tak menjadi masalah ketika buku tersebut
hilang.
Pada
perkembangannya Tan Malaka mengatakan bahwa konsep menghafal tak menambah
kecerdasan, malah membodohkan dan memiskinkan yang membuat orang menjadi
mekanis. Menghafal bukan memberikan pemahaman terhadap sebuah materi, tetetapi
hanya mengingat bunyi dan halaman dimana kalimat tersebut tertulis.
Demikian pula
halnya dengan bidang psikologi anak. Dalam mengajar, Tan Malaka sangat
memperhatikan kondisi psikis anak didiknya. Tan Malaka sangat menyadari
perlunya pendekatan psikologis terhadap anak-anak. Pada saat itu Tan Malaka tak
hanya melakukan pendekatan terhadap peserta didik tetetapi juga melakukan
pendekatan kepada orang tua murid. Untuk menjalankan idenya tersebut, Tan
Malaka mengajak beberapa kuli dan pegawai untuk membicarakan pendidikan
anak-anak kuli.
Anak-anak
diberikan kesempatan menyampaikan pemikiran mereka dengan menyelenggarakan
kongres antara berbagai sekolah dan dengan sistem bertukar sehingga dapat
memberi contoh yang baik dan menjalin kerjasama dan perkenalan antar anak di
sekolah. Guna menjalankan gagasan tersebut haruslah anak-anak sendiri yang
menyelenggarakanya dan dipimpin oleh mereka sendiri. Kepemimpinan dan mandiri
sangat diinginkan oleh Tan Malaka kepada anak muridnya. Dalam brosur Sarekat
Islam dan Onderwijs, Tan Malaka dengan gamblang menjelaskan bahwa
pendidikan harus memperhatikan kondisi kejiwaan mereka. Pendidikan tak baik
diberi terus menerus kepada murid tanpa ada waktu luang bagi mereka untuk
bermain. Dengan bergaul, anak-anak bisa saling mengenal, membaur, serta bermain
bersama, sehingga pendidikan bukanlah menciptakan manusia individualis.
Dari situ
dapat disimpulkan bahwa, Tan Malaka yang memang menyelami ilmu pendidikan sadar
betul bahwa anak-anak didik tak boleh tercerabut dalam masa yang seharusnya
mereka alami, yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak. Setidaknya terdapat
tiga prinsip pendidikan yang dipegang, yakni pendidikan sebagai bekal hidup,
pendidikan sebagai pergaulan hidup, dan pengabdian kepada rakyat.
@rieza_26
*pernah dipublikasikan di www.pmiigusdur.com
0 komentar:
Posting Komentar