Rabu, 26 Agustus 2015 0 komentar

Resensi Buku "Bulan Terbelah di Langit Amerika"



“Muslim Is Not a Terrorist” (Muslim Bukanlah Teroris)

Judul Buku    : Bulan Terbelah di Langit Amerika

Penulis            : Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit          : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :Cetakan ketujuh, Januari 2015
Tebal              : 344 Halaman
Resensator      : Zainal Arifin

“Bulan Terbelah di Langit Amerika”, sebagian besar pembaca mungkin akan penasaran dengan isinya. Pembaca akan dibuat bertanya-tanya “Apa sih maksud judul bulan terbelah di langit Amerika ini?”. Mungkin ada pembaca yang mulai berandai-andai “Apa benar ada bulan yang terbelah di langit Amerika?”. Mungkin pula juga ada yang mengira bahwa buku ini berisi cerita traveling penulis selama di Amerika, lalu menyaksikan bukti nyata di suatu laboratorium astronomi universitas tertentu atau bahkan laboratorium milik NASA bahwa bulan memang pernah terbelah. Rupanya penulis, Hanum Salsabila Rais dan Ranga Almahendra sengaja membuat penasaran para pembaca novel ini. Pembaca dituntut untuk melahap habis seluruh isinya agar kita sebagai pembaca bisa paham dan memperoleh jawaban mengapa judul bukunya seperti itu. Semuanya akan terungkap jelas ketika kita membaca bagian akhirnya.
Novel yang satu ini bisa dikatakan novel religius kontemporer bertemakan sejarah Islam, seperti novel best seller Hanum Salsabela Rais dan Rangga Almahendra sebelumnya mengangkat tema sejenis yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa. Novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” merupakan kelanjutan kisah petualangan Hanum dan Rangga selama hidup di negeri orang. Sebelum novel ini terbit, penulis telah menulis dua buku best seller yaitu “99 Cahaya di Langit Eropa” dan “Berjalan di Atas Cahaya”. Berbeda dengan dua buku pendahulunya yang didasarkan pada cerita nyata, novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” merupakan perpaduan antara berbagai dimensi genre buku yaitu drama, fakta sejarah dan ilmiah, traveling, spiritual, serta fiksi. Pembaca tak akan bosan membaca fakta sejarah dan ilmiah karena disajikan secara apik dalam novel ini.
Novel ini diceritakan berlatar belakang atas tragedi 11 September 2001, ketika gedung tertinggi di Amerika Serikat saat itu, World Trade Center (WTC) satu dan dua runtuh ditabrak oleh American Airlines Flight 11 yang dibajak. Meskipun sudah lama berlalu, peristiwa Black Tuesday masih terekam dalam ingatan kita. Amerika dan Islam, bak dua kutub yang tolak menolak. Islam menjadi pesakitan, julukan teroris kemudian melekat bagi setiap penganutnya. Dunia seakan mengidap Islamophobia berjamaah. Penyakit itu menular dari satu negara ke negara lain. Dunia begitu sensitif dengan segala hal yang berbau Islam. Islam divonis sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala bentuk terorisme yang terjadi di muka bumi. Muncul pertanyaan, “Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?”. Pertanyaan itu lah yang akan terkupas tuntas di bagian cerita dari novel ini.
Berawal dari penugasan dari seorang bos, Gertrud Robinson. Hanum sebagai wartawan diperintahkan untuk menulis artikel di sebuah surat kabar Austria, yang bernama “Heute ist Wunderbar”, Today Is Wonderful, Hari Ini Luar Biasa. Hanum ditantang untuk menulis artikel berjudul “Would the world be better without Islam? Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?”. Bagi Hanum, itu adalah sebuah tugas besar dimana ia harus berkata “tidak” pada pertanyaan itu. Ia harus membuktikan bahwa dunia dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bagi Gertrud Robinson, Hanum adalah orang yang tepat untuk menjelaskannya, sebab ia muslim. Ketimbang wartawan lain, yang hampir saja tugas itu diamanahkan kepada Jacob, seorang non muslim yang pastinya akan berkata “ya” pada pertanyaan tersebut.
Hanum dan Rangga akhirnya terbang ke Amerika secara bersama-sama, namun mereka memiliki misi yang berbeda. Jika Hanum bertugas untuk menyelesaikan tugas kewartawanannya, lain halnya dengan Rangga. Rangga bertandang ke Amerika untuk mengikuti konferensi ilmiah. Misi yang berbeda dari keduanya yang ternyata pada akhirnya mempertemukan mereka pada Philipus Brown, seorang pengusaha dan penderma yang juga merupakan korban black Tuesday. Semuanya terkuak ketika Philipus Brown bercerita tentang kisah di balik tragedi naas itu. Semuanya terungkap bahwa Amerika dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Buku ini tak hanya inspiratif, namun buku ini juga menyuguhkan sejarah mengenai hubungan Islam dan Amerika. Bercerita tentang suku Melungeon, Thomas Jefferson dan Al-Qur’an, dan potongan surat An-Nisa yang tertulis di salah satu pintu gerbang fakultas Hukum Harvard USA. Selain itu, novel ini juga mengungkapkan fakta bahwa Christophorus Colombus sebenarnya bukan penemu benua Amerika. Tertulis bahwa jauh sebelumnya, berkisar 300 tahun sebelum Colombus datang ke Amerika, benua ini telah dihuni oleh orang Indian, orang-orang yang bertubuh tegap berbalut jubah, berhidung mancung, dan berkulit merah. Pembaca akan terkejut pula ketika mengetahui bahwa dalam jurnal pelayarannya Colombus, ia melihat adanya kubah masjid yang indah di Selat Gibarata. Hal ini membuktikan bahwa Islam hadir di Amerika jauh sebelum Colombus datang.
Dalam sebagian isi novel ini ada sedikit kekurangan, yaitu banyaknya istilah dalam bahasa asing yang kurang dijelaskan secara lebih rinci. Namun dari kekurangan itu Hanum Salsabiela menyuguhkan kisah perjalanan sebagai agen muslim yang baik ke Amerika. Membacanya seperti menghadirkan layar film di hadapan pembaca. Kisah para korban tragedi Black Tuesday memang sangat mengharukan. Akan tetapi beberapa tingkah Hanum dan Rangga, sebagai suami istri, yang kocak melengkapi kisah ini dengan sempurna. Sehingga kita tidak hanya terharu, tapi juga tersenyum saat membaca novel ini.
Selain itu, dituturkan secara apik oleh sang penulis yang mampu membuat pembaca ikut larut ke dalam kisah di dalamnya. Sebuah buku tentang kisah perjalanan yang sarat akan makna dan membuat pembaca semakin mencintai Islam. Novel ini tak hanya cocok buat pembaca muslim saja, melainkan juga cocok buat seluruh masyarakat dunia agar paham bahwa “muslim is not a terrorist”, muslim bukan lah teroris. Pembaca akan paham bahwa dunia dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dunia tanpa islam adalah dunia tanpa kedamaian.


Sabtu, 22 Agustus 2015 0 komentar

Jaket Edu14





By: CorelDraw14


Jaket edu14 kawan,,. Iseng ngedesain,,. :D
0 komentar

Resensi Buku "Aku Berfikir maka Aku Tertawa"



Membangun Perspektif Baru dalam Filsafat

 
Judul Buku    : Aku Berfikir maka Aku Tertawa
Penulis            : John Allen Paulos
Penerjemah    : Fahruddin Faiz
Penerbit          : Khazanah, Solo
Tahun terbit : Cetakan pertama, Februari 2005
Jumlah Hal    : 219 halaman
Resensator     : Muhammad Fakhrur Riza

“Filsafat”, kesan sebagian besar orang Indonesia terhadap istilah ini seringkali artifisial. Filsafat sering dipandang sebagai bidang eksklusif yang tidak sembarang orang bisa memahami. Filsafat dilihat sebagai satu dunia yang mahal, mewah, eksklusif, elite, dan kadang dianggap suatu yang khusus. Satu dunia yang sesekali dipuji dan diidealkan, tetapi tidak jarang pula dihujat dan disesatkan. Apalagi jika dikaitkan dengan logika ekonomi yang menjadi dasar berpikir manusia masa kini, maka filsafat harus dikatakan sebagai "makhluk asing" yang tidak memberikan profit apapun selain "pembingungan".
            Filsafat bagi sebagian besar kita identik dengan kata ruwet, mengada-ada, tidak mau diatur, ingin menang sendiri, mengacaukan ketertiban, anti spiritualitas atau agama. Selain itu juga termasuk gambaran-gambaran tentang seorang filosof sebagai tukang debat yang tidak mau disalahkan, orang kurang kerjaan yang membahas hal-hal yang sudah jelas atau orang yang hidupnya kacau, berambut gondrong, jarang mandi dan menyebalkan.
            Ironisnya lagi, pandangan yang artifisial terhadap filsafat tersebut seringkali juga menjangkiti mereka yang menggeluti dunia filsafat seeara langsung, baik para mahasiswa filsafat, dosen filsafat maupun para peminat filsafat itu sendiri. sehingga ada kalanya mereka ini belum merasa menjadi penduduk dunia filsafat yang 'sah' jika belum menampilkan ciri-ciri artificial tersebut.
            Selain pandangan-pandangan yang sedemikian rupa, seseorang beranggapan negatif yang berawal dari susahnya belajar filsafat, termasuk karena keruwetan-keruwetan cara kajiannya atau susah dipahaminya pemikiran-pemikiran kefilsafatan di buku-buku filsafat. Mereka ini kemudian menyimpulkan bahwa kerja filsafat itu hanya "bikin bingung" atau sekedar keruwetan dan mereka yang "kurang kerjaan" saja.
            John Allen Paulos dengan bukunya yang unik diterjemahkan oleh seorang intelektual muda dari Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarata,
Fahruddin Faiz  ini ingin menunjukkan bahwa filsafat dengan segala pernik epistemologis, ontologis dan aksiologisnya adalah juga hasil cipta, karya dan rasa manusia biasa melalui ruang lingkup pemahamannya yang bernama akal-budi. Karena merupakan produk dari manusia, maka filsafat juga memiliki atribut-atribut manusiawi seperti subyektifitas, partikularitas, kontekstualitas dan lain sejenisnya. Meskipun kerja filsafat biasanya diandaikan sebagai pendayagunaan akal-budi manusia secara radikal untuk pencapaian 'kebenaran' fundamental, namun tetap saja keterbatasan-keterbatasan manusiawi tidak mungkin dilepaskan darinya.
            Dari yang sudah terpapar diatas, buku ini pada dasarnya bernuansa filsafat, namun pembaca tidak diajak untuk berpikir serius apalagi jelimet, karena filsafat juga dapat disajikan dengan ungkapan-ungkapan yang sederhana dan bahkan dalam bentuk humor yang menyegarkan. Sebagaimana yang diilustrasikan oleh penerjemah dalam pengantarnya, bahwa dalam buku Allen Paulos ini produk akal-budi manusia itu pada dasarnya adalah kontekstual dan manusiawi. Apabila dicoba untuk diterapkan "tidak pada tempatnya", dicabut dari konteks wacana yang melatarinya, maka makna dan ketepatan asumsi dasarnya akan bergeser, dan yang terjadi kemudian adalah kelucuan-kelucuan. “Aku berfikir, maka aku tertawa”
            Buku ini sendiri mengelaborasian tiga wilayah utama yang menjadi lahan kajian favorit kefilsafatan, yaitu logika, sains, dan sosial-kemasyarakatan. Dengan gaya pemikiran dan sudut pandang dari Allen Paulos ini, tentunya buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan. Akan tetapi buku ini karena merupakan buku terjemahan, dalam tata bahasanya ada sebagian yang sulit difahami. Selain itu juga, bisa jadi bagi kalangan yang terlalu fanatik akan dunia filsafat menganggap buku ini sebagai pelecehan terhadap filsafat. Namun, dari semua itu buku ini tetap memilik nilai positif dalam membangun perspektif baru akan dunia filsafat.
 
;