Sabtu, 26 Desember 2015 0 komentar

Bangga Edukasi ku




Oleh: Muhammad Fakhrur Riza


Gerbang awal masuk dunia perkuliahanku kala itu telah dibuka. Sebagai mahasiswa baru memang lagi semangat-semangatnya, termasuk aku. Banyak sekali Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) aku ikuti. Diantaranya, Edukasi, Tarbiayah Sport Club (TSC), Bimbingan Ilmu Tilawaih Al-Qur’an  BITA, dan UKM Universitas Nafilah. Namun, dari sekian banyak UKM yang aku ikuti hanya “Edukasi” lah yang membuatku nyaman, dan sampai saat ini Edukasi pula satu-satunya UKM yang masih eksis aku ikuti. 

“Edukasi”, mendengar kata ini pada awal-awal masuk kuliah aku langsung berfikir bahwa disinilah tempat yang paling tepat untuk meraih cita-citaku selama ini. Tempat dimana aku dapat menempa dan menimba ilmu dalam hal tulis menulis, serta yang paling utama tentunya mampu membangun gejolak menulisku yang belum begitu merasuk di sanubari. Walaupun sebelum masuk ditempat ini aku sempat bergelut di dunia jurnalistik sekolah maupun pondok. Namun, pada kenyataannya, waktu seleksi pertama masuk aku begitu menyadari bahwa kemampuanku tak seberapa. Bahkan, dari penguji pun menilai buruk hasil tulisanku. Mulai dari sinilah tekadku terbangun untuk menjadi penulis yang lebih baik.

Selain aku mampu menempa dalam hal menulis, di Edukasi ini juga banyak sekali kajian intelektual yang dapat aku ikuiti. Melalui diskusi-diskusi secara formal maupun non-formal dengan sekedar ngobrol membahas isu terkini di kantor Edukasi, ataupun dengan baca buku serta koran-koran yang tersedia disitu. Memang hal itu semua masih sulit bagiku yang memang belum menjadi kebiasaan. Akan tetapi, dengan lingkungan seperti ini setidaknya akan mampu merubah kebiasaanku itu.

Tak Semudah yang ku bayangkan

Untuk masuk di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi ini, ternyata tak semudah yang aku bayangkan, inilah yang menjadi pembeda dari UKM-UKM lainnya. Jika kita masuk UKM lain hanya dengan ikut orientasi awal saja sudah resmi menjadi anggota, di Edukasi harus melewati banyak sekali jenjang untuk bisa menjadi kru.

Pada jenjang awal, aku harus melewati tes interview, itupun banyak sekali pos-pos ujian bagi calon kru magannya yang diantaranya tes kajian sastra, kajian pendidikan, kajian keislaman, reportase, desain grafis atau layout, sampai tes psikologi. Begitu banyak memang, tapi hal ini tidak membuatku putus semangat.

Pada jenjang selanjutnya ada syarat yang harus di ikuti oleh para calon kru magang Edukasi yaitu Pelatihan Dasar Jurnalistik (PJD). Dalam pelatihan ini tidak hanya teori-teori saja, namun ada praktiknya. Kala itu para calon kru magang disuruh membuat Koran bayangan hanya dalam waktu sehari saja, itupun dengan selingan materi-materi PJD. Jadi, otomatis aku dan kawan-kawan lain hanya mampu memaksimalkan penulisan dalam waktu beberapa jam saja seusai materi-materi selesai.

Ada kisah menarik di PJD kala itu, aku masih ingat betul. Pada saat itu aku satu kelompok bersama mas Kafiluddin (selaku pimred Koran bayangan), Kamal (layout), Lu’luil, Wirda, Faizah, dan Amri. Kisah menarik ini dimulai ketika penulisan, di saat deadline tulisan sudah mepet timbul masalah yang tidak terduga sebelumnya yaitu laptop lu’luil kala itu ngebleng dan tulisannya pun hanya disimpan disitu. Sontak si lu’luil pun kebingungan sampai ia meneteskan air mata (sungguh tragis… hehe. Tapi sekarang dia jadi reporter handal di newsletter :) )

Setelah PJD usai terlewati, inilah momen yang dimana kita kawan kru magang 2014 akan dilantik serta praktik terjun langsung di dunia jurnalistik yaitu di Workshop Jurnalistik 2014 tepatnya di Palagan Ambarawa. Kisah-kisah pun semakin menarik dalam perjuangan kita menjadi bagian dari Edukasi tercinta ini. Bertempat di Masjid Agung Palagan Ambarawa kisah ku dan para kawan-kawan seperjuanganku dimulai. Pada workshop kala itu, kami diberi tugas untuk membuat majalah bayangan secara manual yaitu dengan tulisan tangan. Aku mendapatkan job untuk membuat Kolom saat itu. Namun, aku juga ingin ikut hunting langsung untuk bisa melihat keadaan di Ambarawa. Kemudian aku putuskan untuk menemani Rizal yang melakukan hunting untuk mengisi rubrik Laporan Khusus, tepatnya meliput di Gua Maria.

Pagi-pagi aku bergegas mempersiapkan diri. Bekal makan pun aku bawa karena memang aku tak biasa makan terlalu pagi. Namun, hal tak terduga terjadi sesampai ku di Gua Maria. Aku yang berniat mengisi perut kosongku dengan makan disana akhirnya buyar nafsu makanku, setelah aku meliha anjing yang tepat di hadapanku dengan air liurnya yang menetes (bagiku itu sangat menjijikkan). Kemudian hal itupun membuatku tak nafsu makan selama sehari penuh disana.

Singkat cerita, inilah saat perjuangan penulisan dimulai yaitu kejar deadline majalah bayangan. Aku yang memang belum pernah menulis kolom kala itu sangat kesulitan. Berulangkali aku mengedit ke mbak Nayiroh, ada kalau sampai tiga kali edit tapi belum jadi juga. Lalu pada akhirnya tepat jam 09.00 WIB ada hal yang sangat membuatku akan putus asa untuk kembali menulis. Disaat deadline yang mepet, sudah editing berulangkali, malahan ketika tulisanku dilihat mbak Ulfa, aku disuruh mengganti secara total tulisanku, bagaimana aku tidak putus asa. Namun, berkat motivasi dari kakak-kakak pembimbingku kala itu, akupun kembali bersemangat menulis lagi. Itulah mengapa aku menganggap untuk masuk edukasi bukan perkara mudah dan juga menulis. Tetapi, disinilah aku sadar mengapa aku harus terus belajar.

Cinta Edukasi, Cinta Menulis dan berkarya

Setelah masuk dan resmi menjadi kru magang Edukasi, masa berproses ku pun dimulai sampai saat ini kurang lebih sudah berjalan satu setengah tahun aku berada dalam lingkungan yang sudah kuanggap sebagai keluargaku. Disini aku mulai menempa kemampuan menulisku setelah aku masuk sebagai kru online di bagian wacana. Walaupun terkadang lika-liku semangat menulisku luntur, tetapi inilah bagian dari proses tersebut. Selain itu sedikit-sedikit aku juga belajar desain grafis dengan menggunakan CorelDraw, dengan sekedar melihat dan mempelajari secara mandiri dari kakak-kakakku mas Fahmi (PU Edukasi) dan mas Aam yang memang sudah ahli pada bidang ini. Jadi, seperti yang ku katakana di awal tadi bahwa dengan lingkungan seperti ini tentu akan ada perubahan yang mampu aku dapat.

            Dari apa yang sudah ku dapatkan hingga saat ini, harapanku disini masih ada banyak hal yang akan mampu aku dapatkan. Terimaksih kepada Edukasi-ku, kau telah mengajarkanku bahwa menulis itu menyenangkan. Menjadi sebuah karya adalah kebanggaan, walau melewati beberapa rintangan yaitu kemalasan. Namun, hal itu tak membuatku patah arang untuk terus belajar menulis menjadikannya sebuah kecintaan dan terus berkarya. Sekali lagi terimakasih Edukasi-ku, aku bangga menjadi bagian dalam dirimu. :)


*ditulis untuk memenuhi Writting Challenge LPM Edukasi dengan tema "Edukasi"
Kamis, 24 Desember 2015 0 komentar

Kontroversi Ucapan Selamat Natal




Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

            Perdebatan umat Muslim terkait mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani tak terselesaikan dari tahun ke tahun. Perbedaan pendapat disini jangan sampai menjadikan perpecahan umat Muslim itu sendiri, bahkan sampai mengafirkannya.”



Bulan Desember saat ini telah menjadi bulan yang ramai diperbincangkan. Mengapa demikian? di bulan Desember tahun ini ada dua perayaan hari besar agama yaitu Maulid Nabi Muhammad Shallallu ‘alaihi wa sallam (24/12) dan  Hari Natal (25/12). Kontroversi terkait ucapan selamat pun banyak bermunculan. Warga negara Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, seringkali memperdebatkan tentang hal ini dari tahun ke tahun. Sebagian orang beranggapan bahwa mengucap Selamat Natal pada umat Kristiani itu perbolehkan. Akan tetapi, ada juga sebagian orang yang mengharamkannya. Bahkan lebih parahnya lagi, golongan yang mengharamkan ini sampai mengafirkan sesama Muslim ketika mengucap selamat natal pada umat Kristiani.

Dalam agama Islam sendiri memang sudah dikatakan bahwa ikhtilaf (Perbedaan) itu pasti adanya dan diperbolehkan apabila berdasarkan dalil Naqli (Al Qur’an dan Hadits). Namun, jika perbedaan itu hanya mendatangkan konflik yang sampai mengafirkan sesama Muslim, tentunya hal ini sangat tidak dianjurkan. Akibatnya, justru akan menjadikan perpecahan di umat Muslim  itu sendiri.

Beberapa tokoh Indonesia dari lembaga-lembaga kredibel ikut berkomentar tentang mengucapkan Selamat Natal pada kaum Kristiani, diantaranya yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Mereka menyatakan bahwa mengucap selamat natal disini diperbolehkan.

Menurut Rois ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Ma’ruf Amin, menyatakan bahwa mengucap Selamat Natal diperbolehkan, seperti halnya umat kristiani mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri pada umat Muslim. Jadi disini tidak ada larangan pengucapan selamat atas perayaan hari besar antar agama. (dilansir Islam-Institute.com).

Ketua Umum PBNU, Prof. Dr, Said Aqil Siradj juga sependapat dengan K.H Ma’ruf Amin. Menurutnya, dalil yang digunakan dalam melarang ucapan Selamat Natal oleh pihak yang mengharamkan tidak tepat. Selain itu, mantan Ketua Umum Muhammadiyyah, Syafi’I Ma’arif menganggap ucapan Selamat Natal sama saja seperti ucapan Selamat Pagi. Kemudian hal ini juga dianggapnya justru akan mampu menimbulkan perdamaian antar agama. (dilansi Islamoderat.com)  

Kemudian dari mantan Ketua MUI, Buya Hamka dan Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, Cholil Nafis juga berpendapat diperbolekannya mengucap Selamat Natal. Mereka beranggapan bahwa jika hanya mengucap selamat untuk sekedar mengapresiasi pertemanan antar pemeluk agama itu dibolehkan. Akan tetapi yang tidak diperbolehkan yaitu apabila meyakini dan ikut merayakan ibadah Natal. (dilansir Detik.com)

Dari apa yang telah terpaparkan diatas terkait kontroversi mengucap Selamat Natal, disini sudah jelas jika untuk mengucapkannya itu diperbolehkan. Hanya saja yang perlu ditekankan bahwa diperbolehkannya sekedar untuk mengucap Selamat Natal, bukan mengikuti apa yang umat Kristiani yakini serta ikut perayaan atau ibadah mereka. Kemudian, sebagai umat Muslim tentu dengan adanya perbedaan pendapat ini, jangan sampai menjadikan kita justru mengafirkan antar sesama Muslim. Akan tetapi mampu menjadikan kita bisa lebih menghargai umat agama lain, apalagi yang seagama dengan kita walaupun berbeda dalam berpendapat. Sehingga, kerukunan antar agama disini diharap mampu terjalin seperti halnya prinsip “Bhineka Tunggal Ika” Mpu Tantular yang mengedepankan persatuan walaupun berbeda-beda. 


*pernah dipublikasikan di www.lpmedukasi.com
Selasa, 15 Desember 2015 0 komentar

“Mie Instan” Ya Tetap Saja “Mie”



Oleh: Muhammad Fakhrur Riza
               
                Bagi setiap orang sudah dapat dipastikan familier dengan yang namanya “Mie Instan”. Mie yang dapat disajikan secara cepat dan praktis ini tentunya banyak dicari orang. Terutama bagi mereka yang memang sibuk dengan kegiatannya dan mengakibatkan sulit menyempatkan waktunya untuk makan, ataupun orang yang sedang bepergian yang memerlukan bekal secara praktis.
Makin eksisnya mie instan di kalangan masyarakat menjadikan para produsen mie instan berlomba-lomba memunculkan inovasi baru demi mendobrak pasar domestik. Mie instan yang dulunya hanya berupa mie goreng dan rebus biasa, kini tak ubahnya menjadi wisata kuliner. Bagaimana tidak, mie instan yang sekarang ini muncul dengan banyak varian rasa yang tentunya demi menggaet minat konsumennya. Rasa-rasa yang ada pada mie instan saat ini diantaranya rasa ayam, rendang, sambal goreng, soto, bakso, sate, pecel, bahkan sampai rasa makanan jepang mie ramen dan masih banyak lagi lainnya.
Diantara varian rasa yang menurut saya cukup nyeleneh yaitu seperti rasa sate dan pecel. Mengapa demikian? Mie dengan rasa sate atau mie dengan rasa pecel disini produsen sepertinya terlalu memaksakan diri dalam pembuatannya. Karena sangat lucu dan aneh jika kita bandingkan mie ini dengan pecel jika rasa pecel, dan dibandingkan sate bila mie rasa sate.
Mie instan pada sebagian orang mungkin menjadikannya makanan favorit. Bahkan menjadikan makanan pokok tiap harinya. Apalagi karena banyak varian rasa yang sudah tersebut tadi, tentu konsumennya akan semakin ketagihan. Padahal jika Mie Instan dikonsumsi terus-terusan, pastilah akan berdampak buruk bagi tubuh manusia itu sendiri.
Disisi lain, memang mie instan hadir dengan varian rasa kuliner nusantara akan mampu mendongkrak makanan khas di Nusantara dengan bentuk yang berbeda. Namun, perlu diketahui yang namanya mie disini tetaplah mie biasa. Apalagi mie instan dapat mengancam kesehatan manusia jika mengkonsumsinya diluar batas. Maka dari itu, jangan jadikan mie instan disini sebagai makanan pokok dan juga menganggap sebagai kuliner nusantara itu. Akan tetapi kuliner nusantara tetap saja apa yang ada di negeri ini. Sedangkan mie instan hanya sebatas mie biasa yang bisa dikonsumsi secara praktis tatkala sibuk tanpa membahayakan diri kita.
           
 
;