Senin, 24 Oktober 2016 0 komentar

Pendidikan Kritis; Benteng Komersialisasi Pendidikan





Oleh: Muhammad Fakhrur Riza
(Koordinator Div. Penerbitan LKaP PMII AW dan Kru LPM Edukasi)


“Kegunaan pendidikan adalah untuk mengajarkan seseorang untuk berpikir dengan intensif dan kritis. Kecerdasan dan karakter itulah tujuan pendidikan sesungguhnya.”

Pada dunia pendidikan saat ini, kita tau muncul istilah pendidikan kritis. Dalam pendidikan kritis, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan. Hubungan guru dan murid bukanlah bersifat vertikal tetapi bersifat horizontal.
Namun, pada faktanya dalam dunia pendidikan menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu. Disatu sisi sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat demokratis dan kritis. Akan tetapi, dalam prakteknya justru bertindak otoriter dan anti demokratis dengan tidak memberi ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleran dan multicultural. Apalagi lebih parahnya, lembaga pendidikan sekarang justru dikomersilkan, dalam artian mereka yang berada pada lembaga tersebut hanya ingin mencari keuntungan pribadi. Mental-mental sedemikian inilah yang perlu kita bendung melalui pendidikan kritis.
Pengertian Pendidikan Kristis
Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan, maka konsep pendidikan kritis lahir pada dekade 20-an dan mulai berkembang pesat sekitar dekade 70-an. Awalnya merupakan pemikiran pendidikan progressif dari George S. Counts. Beliau mengemukakan tiga masalah vital pada masa itu, dan kemudian dari masalah-masalah tersebut lahirlah yang dinamakan pendidikan kritis. Masalah tersebut adalah pertama, mengkritik masalah pendidikan konservatif, kedua, memberikan ruang terhadap peranan guru untuk menjadikan pendidikan sebagai agen dari perubahan sosial dan yang terakhir yaitu masalah penataan ekonomi sebagai salah satu syarat untuk perbaikan pendidikan.
Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga sebagai aliran kiri, karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif. Dalam konteks akademik, mazhab ini disebut dengan the new sociological of education atau critical theory of education. Henry Giroux (1993) menyebut mazhab ini dengan pendidikan radikal (radical education), sedangkan Paula Allman (1998) menyebutnya dengan pendidikan revolusioner (revolutionary pedagogy). Mazhab ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogeny. Namun, para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakkan kaum tertindas dan mentrasformasi ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Peter McLaren, 1998).
Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Institusi pendidikan tidaklah netral, independen, dan bebas dari pelbagai kepentingan, tapi justru menjadi bagian bari institusi sosial lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan. Pendidikan harus dipahami dalam kerangka relasi-relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Pelbagai kepentingan inilah yang akan membentuk wajah institusi pendidikan dan mempengaruhi subyektifitas peserta didik. Harus disadari, subyektifitas manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Subyektifitas manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah tempat manusia belajar, lingkungan sosial tempatnya berinteraksi, lingkungan keluarga tempat dia tinggal, sistem politik yang mengatur kehidupan publik, dan entitas-entitas lain yang turut membentuk dan mempengaruhi kesadaran individu.
Komersialisasi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia  adalah sebuah dunia yang penuh dengan dilema dan ironi. Bayangkan saja setiap tahun dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) masih ada ditemukan berbagai kebocoran (entah disengaja atau tidak) disana-sini.  Menyedihkan memang, seorang siswa mempertaruhkan harga diri dan kejujuran demi nilai yang membawanya ke jenjang lebih tinggi. Tapi, tak usahlah kita membeberkan rahasia umum yang sudah ranum. Membeberkan fakta-fakta betapa buruknya pendidikan bangsa kita. Bangsa yang bangga akan kebesaran demografinya. Namun, rendah kualitasnya, yang sebenarnya berakar pada pendidikan.
Kebijakan demi kebijakan dilakukan atas nama pendidikan. Salah satu contoh birokrasi merengsek dunia pendidikan ialah pada tahun ajaran 2014/2015 lalu diberlakukan standar kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013. Malangnya, hanya setelah beberapa bulan penerapannya dihentikan dan dikembalikan ke standar kurikulum lama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Berbicara tentang pendidikan sebetulnya membicarakan tentang peradaban dan harkat kita sebagai bangsa. Sayangnya, persoalan selalu melingkar-lingkar dari anggaran dana untuk pendidikan yang belum maksimal, masih rendahnya kualitas dari mayoritas guru, beratnya materi dalam kurikulum, permasalahan birokratisasi dan politisasi pendidikan, sampai kepada komersialisasi pendidikan.
Tanpa pendidikan, sulit bagi siapapun untuk dapat memperbaiki level kehidupan yang mereka tempati karena minimnya bekal atau landasan akademis. Dimana hal tersebut, sangat dibutuhkan oleh manusia dalam proses menuju tempat yang lebih baik. Di sisi lain, banyak juga sekumpulan orang tanpa riwayat pendidikan yang baik justru bisa menikmati level kehidupan yang lebih mapan, namun secara teori orang yang dibekali dengan ilmu jauh lebih berpeluang untuk menjadi orang berhasil. Presiden kedua Amerika Serikat, John Adams pernah mengumandangkan, “Pembangunan sarana pendidikan di kalangan rakyat jelata adalah lebih penting daripada seluruh harta milik orang-orang kaya yang ada di dalam negara.”
Dari sinilah patut kita sadari, bahwa begitu pentingnya pendidikan kritis dalam membangun sebuah peradaban yang layak. Pendidikan tak lagi dijadikan sebagai proyek (komersialisasi) yang sia-sia, namun disini kita mampu membangunya dengan tujuan yang jelas. Bagaimana mampu mengembangkan bakat serta minat dari peserta didik, itulah yang terpenting.
Membentuk Kesadaran Kritis dan kreatif
                Dalam konteks di atas, peranan mahasiswa sebagai agen of change (agen perubahan) tentulah sangat perlu dalam membangun kesadaran kritis, agar mereka mampu mengidentifikasi problematika yang ada.  Menurut Joe Kincheole, mazhab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tapi juga tentang keadilan social dan kesetaraan. Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan ini tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata, tapi juga termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan.
 Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun anti demokrasi, dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme. Sekolah punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan kapital. Sekolah punya visi menjujung tinggi persamaan derajat anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, utamanya kaum difabel.
Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas dan mengeksklusikan mereka yang punya keterbatasa itelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti ini harus segera diakhiri agar tidak muncul sindrian-sindiran tajam di publik seperti “sekolah itu candu” (Roem Topatimasang, 2004), “orang miskin dilarang sekolah” (Eko Prasetyo, 2005), atau “orang bodoh dilarang sekolah”.
Dari sinilah, perlu kita tekankan bahwa kesadaran kritis merupakan kata kunci yang sangat penting, sebab penindasan, dominasi, eksploitasi itu berlangsung karena terdegradasinya ranah kritis manusia. Akan tetapi harus diingat bahwa mengembangkan kesadaran kritis disini tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam peserta didik sendiri. Kesadaran kritis tidak dapat dicangkokkan, tapi dibangun lewat kesadaran diri peserta didik.


*Pernah dimuat di Modul Masa penerimaan Aggota Baru (Mapaba) 2016 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang


Senin, 17 Oktober 2016 0 komentar

Seluk Beluk Islam dan Budaya Jawa


Masjid menara kudus/ doc.internet




Oleh: Muhammad Fakhrur Riza 



Dalam membangun kehidupan saat ini khususnya di Indonesia, tentulah harus ada keterkaitan dari berbagai aspek, diantaranya agama, suku, dan budaya. Islam sebagai agama pendatang tak serta merta hadir begitu saja di Indonesia. Terutama di pulau jawa ini, masyarakat tentunya perlu tahu apa Islam dan budaya jawa secara utuh.
Islam berasal dari bahasa Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang artinya pasrah, tunduk sedangkan secata istilah, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada ummat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sedagkan kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti pikiran. Kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian, organisasi sosial, corak berpikir, sistem kegamaan dan kesenian yang dianut dan dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Kemudian yang dimaksud dengan islam dan kebudayaan Jawa adalah ajaran islam yang berkembang dan berjalan selaras dengan kebudayaaan masyarakat Jawa.
Budaya Jawa memiliki ciri-ciri Religius, Non doktriner, Toleran, Akomodatif, Optimistik. Hal ini membawa masyarakat Jawa memiliki corak, sifat dan kecenderungan yang khas, yakni identik dengan sikap sopan, segan, tidak menampakkan perasaan secara langsung, senantiasa menjaga sopan santun, nerimo ing pandum, gotong royong, dan senantiasa menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan.
Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia itu sendiri. Kepercayaan itu adalah agama pertama mereka, dimana mereka menafsirkan pada semua benda yang bergerak itu dianggap hidup dan memiliki kekuatan roh, baik roh baik maupun roh jahat.
Selain itu ada kepercayaan dinamisme, yaitu kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau benda mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak, keris, cincin dan lain-lain) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat memancarkan kekuatan baik dan buruk kepada manusia dan alam sekitar. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dianggap mempunyai pengaruh baik dan buruk.
            Pandangan dunia jawa bukan suatu pengertian abstrak, namun sebagai sarana dalam usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Tolak ukur bagi pandangan orang jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu yaitu, ketenangan ketentraman dan keseimbangan batin.
            Pandangan dunia jawa bukanlah suatu pandangan dunia dengan cirri-ciri dan batas-batas yang pasti melainkan suatu penghayatan yang terungkap dalam berbagai lapisan masyarakat dalam wujud dan nada yang berbeda-beda.Cirri umum pandangan jawa dapat berlaku semua wujud namun ada unsur berada dalam suatu kesinambungan yang koheren dengan batas-batas yang tidak jelas.
Dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India). Penyebaran Islam di Jawa melalui dua pendekatan yaitu pendekatan islamisasi kultur jawa dan pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sedangkan proses Islamisasi yaitu melalui perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan dan kesenian. Secara garis besar, peranan wali adalah sebagai berikut:
1.      Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren, berdakwah, ataupun dengan media seni
2.      Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan kesenian setempat yang disesuaikan dengan agama/budaya Islam
3.      Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam maupun sebagai penasehat raja-raja.

                        Kemudian dalam Interrelasi nilai Jawa dan Islam sendiri tertuju dalam beberapa aspek. Diantaranya aspek Kepercayaan dan Ritual, Aspek Sastra, aspek Pewayangan, aspek Arsitektur, aspek Politik, aspek Pendidikan, aspek Ekonomi
Selanjutnya, jika kita menyinggung soal wanita Jawa. Mereka ini memiliki pengertian yang beraneka ragam, sekaligus idiologi yang berbeda. Wanita menurut budaya Jawa berada di belakang laki-laki dikarenakan dilihat dari segi fisik yang mana laki-laki berbadan kekar dan tegap, sedangkan wanita kebalikan daripada itu. Bahkan, wanita dianggap mustahil berbuat kebajikan seperti halnya lelaki. Setelah R.A. Kartini datang teori itu sedikit demi sedikit hilang , yang akhirnya terangkatlah wanita yang asalnya hanya di belakang bisa maju kedepan seperti halnya laki-laki.
Namun menurut pandangan Islam wanita tidaklah seperti apa yang dipandang oleh masyarakat Jawa dulu, melainkan wanita adalah seorang yang amat mulia bahkan tiga tingkat lebih tinggi derajatnya dibanding laki-laki, bukan hanya itu bahkan (menurut hadist) surga itu terdapat telapak kaki seorang ibu.
Kemudian yang terakhir kita tarik ke era sekarang, merebaknya budaya barat di tengah masyarakat, berubahnya sikap dan pola hidup terhadap budaya Jawa, dan kurangnya penanaman dan pemahaman budaya Jawa sejak dini kepada masyarakat menjadi penyebab dari memudarnya budaya Jawa di era modernisasi. Cara untuk menanggulangi adanya modernisasi globalisasi tersebut, salah satunya adalah intropeksi diri, oleh karena itu perlunya ditingkatkan kesadaran diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan menggunakan filsafat Jawa sehingga jangan sampai orang Jawa kehilangan kepribadiannya.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.Dengan masuknya Islam maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha dan Islam. Dikalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya Jawa Islam, yang memiliki ciri bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai “wadah”, sedangkan “isinya” adalah Jawa).


Dalam membangun kehidupan saat ini khususnya di Indonesia, tentulah harus ada keterkaitan dari berbagai aspek, diantaranya agama, suku, dan budaya. Islam sebagai agama pendatang tak serta merta hadir begitu saja di Indonesia. Terutama di pulau jawa ini, masyarakat tentunya perlu tahu apa Islam dan budaya jawa secara utuh.
Islam berasal dari bahasa Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang artinya pasrah, tunduk sedangkan secata istilah, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada ummat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sedagkan kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti pikiran. Kebudayaan Jawa adalah sebuah sistem yang mencakup bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian, organisasi sosial, corak berpikir, sistem kegamaan dan kesenian yang dianut dan dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Kemudian yang dimaksud dengan islam dan kebudayaan Jawa adalah ajaran islam yang berkembang dan berjalan selaras dengan kebudayaaan masyarakat Jawa.
Budaya Jawa memiliki ciri-ciri Religius, Non doktriner, Toleran, Akomodatif, Optimistik. Hal ini membawa masyarakat Jawa memiliki corak, sifat dan kecenderungan yang khas, yakni identik dengan sikap sopan, segan, tidak menampakkan perasaan secara langsung, senantiasa menjaga sopan santun, nerimo ing pandum, gotong royong, dan senantiasa menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan.
Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia itu sendiri. Kepercayaan itu adalah agama pertama mereka, dimana mereka menafsirkan pada semua benda yang bergerak itu dianggap hidup dan memiliki kekuatan roh, baik roh baik maupun roh jahat.
Selain itu ada kepercayaan dinamisme, yaitu kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau benda mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak, keris, cincin dan lain-lain) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat memancarkan kekuatan baik dan buruk kepada manusia dan alam sekitar. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dianggap mempunyai pengaruh baik dan buruk.
            Pandangan dunia jawa bukan suatu pengertian abstrak, namun sebagai sarana dalam usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Tolak ukur bagi pandangan orang jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu yaitu, ketenangan ketentraman dan keseimbangan batin.
            Pandangan dunia jawa bukanlah suatu pandangan dunia dengan cirri-ciri dan batas-batas yang pasti melainkan suatu penghayatan yang terungkap dalam berbagai lapisan masyarakat dalam wujud dan nada yang berbeda-beda.Cirri umum pandangan jawa dapat berlaku semua wujud namun ada unsur berada dalam suatu kesinambungan yang koheren dengan batas-batas yang tidak jelas.
Dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India). Penyebaran Islam di Jawa melalui dua pendekatan yaitu pendekatan islamisasi kultur jawa dan pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sedangkan proses Islamisasi yaitu melalui perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan dan kesenian. Secara garis besar, peranan wali adalah sebagai berikut:
1.      Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren, berdakwah, ataupun dengan media seni
2.      Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan kesenian setempat yang disesuaikan dengan agama/budaya Islam
3.      Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam maupun sebagai penasehat raja-raja.

                        Kemudian dalam Interrelasi nilai Jawa dan Islam sendiri tertuju dalam beberapa aspek. Diantaranya aspek Kepercayaan dan Ritual, Aspek Sastra, aspek Pewayangan, aspek Arsitektur, aspek Politik, aspek Pendidikan, aspek Ekonomi
Selanjutnya, jika kita menyinggung soal wanita Jawa. Mereka ini memiliki pengertian yang beraneka ragam, sekaligus idiologi yang berbeda. Wanita menurut budaya Jawa berada di belakang laki-laki dikarenakan dilihat dari segi fisik yang mana laki-laki berbadan kekar dan tegap, sedangkan wanita kebalikan daripada itu. Bahkan, wanita dianggap mustahil berbuat kebajikan seperti halnya lelaki. Setelah R.A. Kartini datang teori itu sedikit demi sedikit hilang , yang akhirnya terangkatlah wanita yang asalnya hanya di belakang bisa maju kedepan seperti halnya laki-laki.
Namun menurut pandangan Islam wanita tidaklah seperti apa yang dipandang oleh masyarakat Jawa dulu, melainkan wanita adalah seorang yang amat mulia bahkan tiga tingkat lebih tinggi derajatnya dibanding laki-laki, bukan hanya itu bahkan (menurut hadist) surga itu terdapat telapak kaki seorang ibu.
Kemudian yang terakhir kita tarik ke era sekarang, merebaknya budaya barat di tengah masyarakat, berubahnya sikap dan pola hidup terhadap budaya Jawa, dan kurangnya penanaman dan pemahaman budaya Jawa sejak dini kepada masyarakat menjadi penyebab dari memudarnya budaya Jawa di era modernisasi. Cara untuk menanggulangi adanya modernisasi globalisasi tersebut, salah satunya adalah intropeksi diri, oleh karena itu perlunya ditingkatkan kesadaran diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan menggunakan filsafat Jawa sehingga jangan sampai orang Jawa kehilangan kepribadiannya.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha.Dengan masuknya Islam maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha dan Islam. Dikalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya Jawa Islam, yang memiliki ciri bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai “wadah”, sedangkan “isinya” adalah Jawa).
 
;