Oleh: Muhammad
Fakhrur Riza
(Koordinator Div. Penerbitan LKaP PMII AW dan Kru LPM Edukasi)
“Kegunaan pendidikan adalah untuk mengajarkan seseorang untuk
berpikir dengan intensif dan kritis. Kecerdasan dan karakter itulah tujuan
pendidikan sesungguhnya.”
Pada dunia pendidikan saat ini, kita tau muncul istilah pendidikan
kritis. Dalam pendidikan kritis, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya.
Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan.
Hubungan guru dan murid bukanlah bersifat vertikal tetapi bersifat horizontal.
Namun, pada faktanya dalam dunia pendidikan menunjukkan bahwa
sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu. Disatu sisi sekolah
dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat demokratis dan kritis. Akan
tetapi, dalam prakteknya justru bertindak otoriter dan anti demokratis dengan
tidak memberi ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleran dan multicultural.
Apalagi lebih parahnya, lembaga pendidikan sekarang justru dikomersilkan, dalam
artian mereka yang berada pada lembaga tersebut hanya ingin mencari keuntungan
pribadi. Mental-mental sedemikian inilah yang perlu kita bendung melalui
pendidikan kritis.
Pengertian
Pendidikan Kristis
Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan, maka konsep pendidikan
kritis lahir pada dekade 20-an dan mulai berkembang pesat sekitar dekade 70-an.
Awalnya merupakan pemikiran pendidikan progressif dari George S. Counts. Beliau
mengemukakan tiga masalah vital pada masa itu, dan kemudian dari
masalah-masalah tersebut lahirlah yang dinamakan pendidikan kritis. Masalah
tersebut adalah pertama, mengkritik masalah pendidikan konservatif, kedua,
memberikan ruang terhadap peranan guru untuk menjadikan pendidikan sebagai agen
dari perubahan sosial dan yang terakhir yaitu masalah penataan ekonomi sebagai
salah satu syarat untuk perbaikan pendidikan.
Pendidikan
kritis (critical
pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan
politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini dalam diskursus pendidikan
disebut juga sebagai aliran kiri, karena orientasi politiknya yang berlawanan
dengan mazhab liberal dan konservatif. Dalam konteks akademik, mazhab ini
disebut dengan the new sociological of education
atau critical
theory of education. Henry Giroux (1993) menyebut mazhab ini dengan
pendidikan radikal (radical education), sedangkan Paula
Allman (1998) menyebutnya dengan pendidikan revolusioner (revolutionary
pedagogy). Mazhab ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang
tunggal dan homogeny. Namun, para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu
tujuan yang sama, yaitu memberdayakkan kaum tertindas dan mentrasformasi
ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Peter
McLaren, 1998).
Visi
pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa
dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Institusi pendidikan tidaklah netral, independen, dan bebas dari pelbagai
kepentingan, tapi justru menjadi bagian bari institusi sosial lain yang menjadi
ajang pertarungan kepentingan. Pendidikan harus dipahami dalam kerangka
relasi-relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Pelbagai kepentingan
inilah yang akan membentuk wajah institusi pendidikan dan mempengaruhi
subyektifitas peserta didik. Harus disadari, subyektifitas manusia tidak bisa
dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Subyektifitas manusia sangat
dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah tempat
manusia belajar, lingkungan sosial tempatnya berinteraksi, lingkungan keluarga
tempat dia tinggal, sistem politik yang mengatur kehidupan publik, dan
entitas-entitas lain yang turut membentuk dan mempengaruhi kesadaran individu.
Komersialisasi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia adalah sebuah dunia yang penuh dengan dilema
dan ironi. Bayangkan saja setiap tahun dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
masih ada ditemukan berbagai kebocoran (entah disengaja atau tidak)
disana-sini. Menyedihkan memang, seorang siswa mempertaruhkan harga diri
dan kejujuran demi nilai yang membawanya ke jenjang lebih tinggi. Tapi, tak
usahlah kita membeberkan rahasia umum yang sudah ranum. Membeberkan fakta-fakta
betapa buruknya pendidikan bangsa kita. Bangsa yang bangga akan kebesaran
demografinya. Namun, rendah kualitasnya, yang sebenarnya berakar pada
pendidikan.
Kebijakan
demi kebijakan dilakukan atas nama pendidikan. Salah satu contoh birokrasi
merengsek dunia pendidikan ialah pada tahun ajaran 2014/2015 lalu diberlakukan
standar kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013. Malangnya, hanya setelah beberapa
bulan penerapannya dihentikan dan dikembalikan ke standar kurikulum lama,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Berbicara
tentang pendidikan sebetulnya membicarakan tentang peradaban dan harkat kita
sebagai bangsa. Sayangnya, persoalan selalu melingkar-lingkar dari anggaran
dana untuk pendidikan yang belum maksimal, masih rendahnya kualitas dari
mayoritas guru, beratnya materi dalam kurikulum, permasalahan birokratisasi dan
politisasi pendidikan, sampai kepada komersialisasi pendidikan.
Tanpa
pendidikan, sulit bagi siapapun untuk dapat memperbaiki level kehidupan yang
mereka tempati karena minimnya bekal atau landasan akademis. Dimana hal
tersebut, sangat dibutuhkan oleh manusia dalam proses menuju tempat yang lebih
baik. Di sisi lain, banyak juga sekumpulan orang tanpa riwayat pendidikan yang
baik justru bisa menikmati level kehidupan yang lebih mapan, namun secara teori
orang yang dibekali dengan ilmu jauh lebih berpeluang untuk menjadi orang
berhasil. Presiden kedua Amerika Serikat, John Adams pernah mengumandangkan,
“Pembangunan sarana pendidikan di kalangan rakyat jelata adalah lebih penting
daripada seluruh harta milik orang-orang kaya yang ada di dalam negara.”
Dari
sinilah patut kita sadari, bahwa begitu pentingnya pendidikan kritis dalam
membangun sebuah peradaban yang layak. Pendidikan tak lagi dijadikan sebagai
proyek (komersialisasi) yang sia-sia, namun disini kita mampu membangunya
dengan tujuan yang jelas. Bagaimana mampu mengembangkan bakat serta minat dari
peserta didik, itulah yang terpenting.
Membentuk
Kesadaran Kritis dan kreatif
Dalam
konteks di atas, peranan mahasiswa sebagai agen of change (agen
perubahan) tentulah sangat perlu dalam membangun kesadaran kritis, agar mereka
mampu mengidentifikasi problematika yang ada. Menurut Joe Kincheole, mazhab pendidikan
kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak
hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan
pendidikan, tapi juga tentang keadilan social dan kesetaraan. Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan
kesetaraan ini tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata, tapi juga
termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari. Tidak boleh ada
ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi
secara normatif dengan praktek di lapangan.
Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali
menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi,
sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis,
namun anti demokrasi, dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang
kritis, toleransi dan multi-kulturalisme. Sekolah punya slogan “mencerdaskan
anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan
kapital. Sekolah punya visi menjujung tinggi persamaan derajat
anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas,
utamanya kaum difabel.
Sekolah
terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam prakteknya
hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas dan mengeksklusikan
mereka yang punya keterbatasa itelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti
ini harus segera diakhiri agar tidak muncul sindrian-sindiran tajam di publik seperti
“sekolah itu candu” (Roem Topatimasang, 2004), “orang miskin dilarang sekolah”
(Eko Prasetyo, 2005), atau “orang bodoh dilarang sekolah”.
Dari sinilah,
perlu kita tekankan bahwa kesadaran kritis merupakan kata kunci yang
sangat penting, sebab penindasan, dominasi, eksploitasi itu berlangsung karena
terdegradasinya ranah kritis manusia. Akan tetapi harus diingat bahwa
mengembangkan kesadaran kritis disini tidak semudah membalikkan telapak tangan,
tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam peserta didik
sendiri. Kesadaran kritis tidak dapat dicangkokkan, tapi dibangun lewat
kesadaran diri peserta didik.
*Pernah dimuat di Modul Masa penerimaan Aggota Baru (Mapaba) 2016 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang
0 komentar:
Posting Komentar