Selasa, 29 November 2016 0 komentar

Rebo Wekasan



          
           Mendengar istilah ‘Rebo Wekasan’ memanglah sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama orang jawa yang masih memegang erat ajaran-ajaran para ulama’ tertadahulu. ‘Rabu Wekasan’ merupakan hari rabu diakhir bulan shafar. Dimana dari beberapa sumber menyatakan bahwa dihari tersebut akan diturunkan banyak bala’ (kesialan/musibah).

Seperti yang terjadi pada masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah:
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini dijelaskan bahwa, semua kehendak baik maupun buruk tetaplah kita kembalikan pada Allah semata. Jadi, kalaupun kita mempercayai datangnya balak pada ‘rabu wekasan’ ini, jangan sampai menjadikan kita menyekutukan Allah. Namun sebaliknya, kita justru dianjurkan lebih mendekatkan diri pada sang khaliq dengan senantiasa berdzikir menunaikan amalan-amalan yang tentunya berdampak positif bagi diri kita secara pribadi, dan sekeliling kita secara umumnya. Amin ya rabbal alamin,..


Rabu, 16 November 2016 0 komentar

Demokrasi Tiada Arti, Demoralisasi Merajai

Doc.Internet




Oleh: Muhammad Fakhrur Riza



                Akhir-akhir ini seringkali saya jumpai berbagai media yang memberitakan penolakan keras terhadap seseorang atau golongan yang dianggapnya minoritas. Bahkan, tindakan perusakan, pemberontakan, dan penghujatanpun menjadi suatu hal yang lumprah. Hal ini tentunya dapat kita katakana suatu tindakan diskriminasi, mengingat Negara Indonesia bukanlah Negara suatu kelompok tertentu. Melainkan di Negara ini terdapat berbagai suku, agama, ras, dan budaya sebagai cirri khas demokrasi itu sendiri.

                Dalam berbagai kasus tersebut, pelakunya justru dari mereka yang getol mendaku sebagai golongan paling benar, beragama, serta sebagai mayoritas. Jadi, mereka beranggapan bahwa Negara ini tak boleh dipimpin oleh seseorang dari minoritas. Kemudian setelah anggapan itu muncul, apa mereka lupa dasar Negara iniialah “demokrasi”?. Demokrasi sebagai dasar Negara mungkin sudah tak ada eksistensinya lagi. Dewasa ini, nilai demokrasi sudah kian luntur dan boleh jadi ungkapan ini meleset menjadi demoralisasi. Dimana moral bangsa yang rusak, serta tindakan diskriminasi kian marak terjadi. 

               Menyikapi hal itu, sebagai warga Negara Indonesia perlu kita sadari bahwa dasar negera ini ialah “demokrasi” bukannya jadi “demoralisasi”.Sehingga, dalam bernegera kita tidak lagi membawa nama suatu golongan, namun kita adalah satu bangsa satu Negara “Indonesia”.


Senin, 24 Oktober 2016 0 komentar

Pendidikan Kritis; Benteng Komersialisasi Pendidikan





Oleh: Muhammad Fakhrur Riza
(Koordinator Div. Penerbitan LKaP PMII AW dan Kru LPM Edukasi)


“Kegunaan pendidikan adalah untuk mengajarkan seseorang untuk berpikir dengan intensif dan kritis. Kecerdasan dan karakter itulah tujuan pendidikan sesungguhnya.”

Pada dunia pendidikan saat ini, kita tau muncul istilah pendidikan kritis. Dalam pendidikan kritis, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilik otoritas kebenaran dan pengetahuan. Hubungan guru dan murid bukanlah bersifat vertikal tetapi bersifat horizontal.
Namun, pada faktanya dalam dunia pendidikan menunjukkan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu. Disatu sisi sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat demokratis dan kritis. Akan tetapi, dalam prakteknya justru bertindak otoriter dan anti demokratis dengan tidak memberi ruang bagi tumbuhnya subjek yang kritis, toleran dan multicultural. Apalagi lebih parahnya, lembaga pendidikan sekarang justru dikomersilkan, dalam artian mereka yang berada pada lembaga tersebut hanya ingin mencari keuntungan pribadi. Mental-mental sedemikian inilah yang perlu kita bendung melalui pendidikan kritis.
Pengertian Pendidikan Kristis
Dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan, maka konsep pendidikan kritis lahir pada dekade 20-an dan mulai berkembang pesat sekitar dekade 70-an. Awalnya merupakan pemikiran pendidikan progressif dari George S. Counts. Beliau mengemukakan tiga masalah vital pada masa itu, dan kemudian dari masalah-masalah tersebut lahirlah yang dinamakan pendidikan kritis. Masalah tersebut adalah pertama, mengkritik masalah pendidikan konservatif, kedua, memberikan ruang terhadap peranan guru untuk menjadikan pendidikan sebagai agen dari perubahan sosial dan yang terakhir yaitu masalah penataan ekonomi sebagai salah satu syarat untuk perbaikan pendidikan.
Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga sebagai aliran kiri, karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif. Dalam konteks akademik, mazhab ini disebut dengan the new sociological of education atau critical theory of education. Henry Giroux (1993) menyebut mazhab ini dengan pendidikan radikal (radical education), sedangkan Paula Allman (1998) menyebutnya dengan pendidikan revolusioner (revolutionary pedagogy). Mazhab ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogeny. Namun, para pendukung mazhab ini disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakkan kaum tertindas dan mentrasformasi ketidakadilan social yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Peter McLaren, 1998).
Visi pendidikan kritis dilandaskan pada suatu pemahaman bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Institusi pendidikan tidaklah netral, independen, dan bebas dari pelbagai kepentingan, tapi justru menjadi bagian bari institusi sosial lain yang menjadi ajang pertarungan kepentingan. Pendidikan harus dipahami dalam kerangka relasi-relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Pelbagai kepentingan inilah yang akan membentuk wajah institusi pendidikan dan mempengaruhi subyektifitas peserta didik. Harus disadari, subyektifitas manusia tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang lebih luas. Subyektifitas manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelajari, lingkungan sekolah tempat manusia belajar, lingkungan sosial tempatnya berinteraksi, lingkungan keluarga tempat dia tinggal, sistem politik yang mengatur kehidupan publik, dan entitas-entitas lain yang turut membentuk dan mempengaruhi kesadaran individu.
Komersialisasi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia  adalah sebuah dunia yang penuh dengan dilema dan ironi. Bayangkan saja setiap tahun dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) masih ada ditemukan berbagai kebocoran (entah disengaja atau tidak) disana-sini.  Menyedihkan memang, seorang siswa mempertaruhkan harga diri dan kejujuran demi nilai yang membawanya ke jenjang lebih tinggi. Tapi, tak usahlah kita membeberkan rahasia umum yang sudah ranum. Membeberkan fakta-fakta betapa buruknya pendidikan bangsa kita. Bangsa yang bangga akan kebesaran demografinya. Namun, rendah kualitasnya, yang sebenarnya berakar pada pendidikan.
Kebijakan demi kebijakan dilakukan atas nama pendidikan. Salah satu contoh birokrasi merengsek dunia pendidikan ialah pada tahun ajaran 2014/2015 lalu diberlakukan standar kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013. Malangnya, hanya setelah beberapa bulan penerapannya dihentikan dan dikembalikan ke standar kurikulum lama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Berbicara tentang pendidikan sebetulnya membicarakan tentang peradaban dan harkat kita sebagai bangsa. Sayangnya, persoalan selalu melingkar-lingkar dari anggaran dana untuk pendidikan yang belum maksimal, masih rendahnya kualitas dari mayoritas guru, beratnya materi dalam kurikulum, permasalahan birokratisasi dan politisasi pendidikan, sampai kepada komersialisasi pendidikan.
Tanpa pendidikan, sulit bagi siapapun untuk dapat memperbaiki level kehidupan yang mereka tempati karena minimnya bekal atau landasan akademis. Dimana hal tersebut, sangat dibutuhkan oleh manusia dalam proses menuju tempat yang lebih baik. Di sisi lain, banyak juga sekumpulan orang tanpa riwayat pendidikan yang baik justru bisa menikmati level kehidupan yang lebih mapan, namun secara teori orang yang dibekali dengan ilmu jauh lebih berpeluang untuk menjadi orang berhasil. Presiden kedua Amerika Serikat, John Adams pernah mengumandangkan, “Pembangunan sarana pendidikan di kalangan rakyat jelata adalah lebih penting daripada seluruh harta milik orang-orang kaya yang ada di dalam negara.”
Dari sinilah patut kita sadari, bahwa begitu pentingnya pendidikan kritis dalam membangun sebuah peradaban yang layak. Pendidikan tak lagi dijadikan sebagai proyek (komersialisasi) yang sia-sia, namun disini kita mampu membangunya dengan tujuan yang jelas. Bagaimana mampu mengembangkan bakat serta minat dari peserta didik, itulah yang terpenting.
Membentuk Kesadaran Kritis dan kreatif
                Dalam konteks di atas, peranan mahasiswa sebagai agen of change (agen perubahan) tentulah sangat perlu dalam membangun kesadaran kritis, agar mereka mampu mengidentifikasi problematika yang ada.  Menurut Joe Kincheole, mazhab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tapi juga tentang keadilan social dan kesetaraan. Visi sosial dan pendidikan yang berbasis pada keadilan dan kesetaraan ini tidak hanya tertuang dalam tulisan dan kata, tapi juga termanifestasikan dalam praktek pendidikan sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan antara apa yang dikonstruksi secara normatif dengan praktek di lapangan.
 Fakta menunjukan bahwa sekolah seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, sekolah dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun anti demokrasi, dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturalisme. Sekolah punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan kapital. Sekolah punya visi menjujung tinggi persamaan derajat anti-diskriminasi, tapi pada prakteknya tidak mengakomodasi kelompok minoritas, utamanya kaum difabel.
Sekolah terlanjur dipersepsi sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai, dan cerdas dan mengeksklusikan mereka yang punya keterbatasa itelektual. Wajah paradoksal pendidikan seperti ini harus segera diakhiri agar tidak muncul sindrian-sindiran tajam di publik seperti “sekolah itu candu” (Roem Topatimasang, 2004), “orang miskin dilarang sekolah” (Eko Prasetyo, 2005), atau “orang bodoh dilarang sekolah”.
Dari sinilah, perlu kita tekankan bahwa kesadaran kritis merupakan kata kunci yang sangat penting, sebab penindasan, dominasi, eksploitasi itu berlangsung karena terdegradasinya ranah kritis manusia. Akan tetapi harus diingat bahwa mengembangkan kesadaran kritis disini tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam peserta didik sendiri. Kesadaran kritis tidak dapat dicangkokkan, tapi dibangun lewat kesadaran diri peserta didik.


*Pernah dimuat di Modul Masa penerimaan Aggota Baru (Mapaba) 2016 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid Komisariat Walisongo Semarang


 
;