Senin, 25 April 2016 0 komentar

"Tan Malaka"



 
Tan Malaka // Doc. Internet
Oleh: @rieza_26

Tan malaka adalah penggerak kemerdekaan sesungguhnya
Kerasnya hidup bukanlah pantangan baginya
Hidup sebagai buronan sudah terasa biasa olehnya

Melalui pendidikan kerakyatan, ia berharap pada sebuah perubahan
Perubahan yang ia buat dengan tiga prinsip pegangan

Pendidikan sebagai bekal hidup
Pendidikan sebagai pergaulan hidup
Dan Pengabdian kepada rakyat untuk Indonesia yang tak redup

Hal inilah yang dicitakan oleh tan malaka
Berharap pada bangsa yang merdeka
Demi terwujudnya insan yang paripurna



* Menjadi Closing statement pada diskusi yang di selenggarakan Serikat Mahasiswa Pecinta Diskusi (SMPD)  di LSIS Tanjung Sari, Semarang
Minggu, 24 April 2016 0 komentar

Desain Kaos PMII Gus Dur 2014

Desain kaos PMII GusDur 2014, dengan kombinasi warna misty dan maroon
0 komentar

Revitalisasi Pepustakaan Sebagai Jantung Universitas


Aktifitas di Perpustakaan // doc. internet



Oleh: Muhammad Fakhrur Riza
(Mahasiswa Pend. Bahasa Arab UIN Walisongo dan Kru LPM Edukasi)



Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo perlu berbenah diri, salah satunya menambah jam buka Perpustakaan. Karena  jam buka Perpustakaan yang minim akan berdampak pada kualiatas akademik kampus 

Perpustakaan Perguruan Tinggi (PT) sering kali diibaratkan sebagai jantungnya Perguruan Tinggi (the heart of university). Keberadaannya harus ada agar dapat memberikan layanan kepada sivitas akademika sesuai dengan kebutuhan. Namun, dalam kenyataannya Pepustakaan kini dianggap masih jauh dari yang diharapankan. Seperti yang terjadi di Universitas Negeri Islam (UIN) Walisongo Semarang, para mahasiswa mengadakan demontrasi pada kamis (14/04) yang salah satunya menuntut birokrasi akibat kurangnya jam buka Perpustakaan.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNI 7330.2009), perpustakaan diselenggarakan untuk menunjang pelaksanaan program Perguruan Tinggi sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat yang dalam konteks ini adalah mahasiswa dan dosen. Kemudian jika kita melihat kembali  realita yang terjadi di UIN walisongo apakah sudah maksimal?
Dengan jam buka yang sangat minim yaitu mulai pukul 08.00-15.00 di hari senin sampai jum’at. Tentunya hal ini menjadikan peranan Perpustakaan untuk mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dianggap sangatlah sulit. Apalagi, sekarang ini diperparah karena tutupnya Perpustakaan di hari sabtu dan minggu.  Padahal pada hari tersebut, Seharusnya para mahasiswa mampu memanfaatan waktu luang mereka di selain hari perkuliahan. Disitu mereka dapat belajar dan berdiskusi di Perpustakaan, sehingga iklim kampus menjadi lebih hidup.
Menurut versi Perpustakaan Nasional (Perpusnas),  jam buka Perpustakaan melebihi 8 jam per hari kerja, sementara versi Badan Administrasi Negara (BAN) tidak disebutkan. Bila disimak, jumlah jam buka yang hanya 8 jam bagi sebuah Perpustakaan PT dirasakan terlalu pendek. Bila sebuah  Perpustakaan PT buka mulai pukul 08.00, dengan menggunakan standar kerja PNS maka perpustakaan akan ditutup pukul 16.00 dengan asumsi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) bekerja 8 jam sehari serta persiapan pembukaan perpustakaan dimulai pukul 7.00 .
Dalam hal ini, Perpustakaan di UIN Walisongo masih jauh dari standar yang ditentukan, bila berkaca pada versi Perpusnas dan jam kerja PNS. Apalagi, perpustakaan UIN Walisongo ada jeda istirahat ketika pukul 12.00-13.00. Dengan demikian, Perpustakaan UIN Walisongo disini hanya buka 6 jam sehari. 
 Kemudian jika dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura atau Malaysia, tentunya akan sangat jauh berbeda. Jam buka Perpustakaan PT  di Singapura dan Malaysia mulai pukul 08.00 sampai dengan 22.00 tanpa waktu jeda, artinya selama waktu istirahat siang perpustakaan tetap buka. Selain Itu, hari Sabtu dan Minggu masih buka walaupun tidak penuh. Hal ini juga yang menjadi salah satu pengaruh besar pada perkembangan suatu negara. Jam buka perpustakaan dianggap mampu menunjang kebiasaan seseorang untuk mengembangkan potensi akademiknya, melalui membaca dan berdiskusi di perpustakaan.
Begitu urgennya peran Perpustakaan dalam mengembangkan potensi akademik seseorang haruslah mendapat dukungan dari berbagai pihak terkait. Dalam konteks ini, pihak birokrasi kampus UIN Walisongo dianggap sangat perlu untuk berbenah diri. Dengan berkaca ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang sudah maju dalam hal ini, demi mengembalikan iklim intelektual kampus yang dari hari ke hari kian luntur.
Selain itu, peranan birokrasi kampus sebagai pemangku kebijakan disini juga haruslah tepat dalam keputusannya. Walaupun dirasa kebijakan jam buka perpustakaan sangatlah sepele. Namun, jika dilihat dari dampaknya sangat begitu urgen untuk perkembangan akademik dan intelektual kampus. Sehingga, perpustakaan yang diibaratkan jantung universitas akan benar-benar terwujud dan bukan sekedar istilah belaka.

*Pernah dipublikasikan di www.lpmedukasi.com
Jumat, 08 April 2016 0 komentar

Selektif Media di Era “Citizen Journalism”

Citizen Journalist // doc.internet

Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

Pada era Citizen Journalism saat ini, masyarakat (penikmat berita) perlu lebih selektif terhadap berita-berita dari media, terutama dari media online yang berasal dari blog-blog warga. Selain itu, media profesional juga harus hadir sebagai penyelaras dari berita Citizen Journalism yang tidak layak publis.

Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa peranan media yang disini dapat dikatakan sebagai jurnalistik, dari masa-ke masa telah dianggap sarana paling efektif dan efisien dalam menggiring opini publik. Di Indonesia, istilah jurnalistik dulunya dikenal dengan sebutan publisistik atau publikasi secara cetak kemudian berkembang ke media elektronik, seperti pemberitaan lewat Televisi maupun Radio. Namun, dewasa ini media berkembang dengan pesat tidak hanya sebatas media cetak dan elektronik. Akan tetapi, kini perkembangannya telah mencapai media tersambung (online) yang kini menimbulkan pandangan skeptis dan optimis bagi para mainstream media.

Media yang telah terkemas sedemikian rupa, dengan begitu bebasnya seseorang mampu menuliskan atau menyampaikan gagasannya ke khalayak. Disini mereka tidak harus berlatar belakang jurnalis professional maupun jurnalis independen. Akan tetapi masyarakat umum pun mampu berperan dari berbagai profesi. Hal inilah yang sekarang sering disebut dengan istilah Citizen Journalism (Jurnalisme Warga).

Citizen Journalism dengan segala kemudahannya memang memiliki dampak positif bagi khalayak. Mereka mampu menuangkan gagasannya dengan begitu leluasa tanpa ada proses ketat sebagaimana di media-media cetak. Dengan melalui sarana blog maupun akun sosial seperti Facebook dan twitter, mereka bebas mengekspresikan gagasan secara cepat.

Seperti pada (Kompas, 21 Februari 09), Citizen Journalism mampu menghimpun suatu kekuatan digital yang tak terlihat namun keadaan sangat berpengaruh. Misalnya, Barrack Obama berhasil merubah dunia dengan Citizen Journalism, tsunami di Banda Aceh-2004 mampu mendapatkan empati dari seluruh dunia karena Citizen Journalism. Internet secara umum juga bisa menjadi lahan kampanye yang strategis.

Namun, dari beberapa kemapanannya, Citizen Journalism kini mulai menuai dampak negatif dengan bermunculannya media-media kontroversial. Media ini sering kali membuat berita-berita maupun artikel yang bersifat profokatif sampai pada kasus pencemaran nama baik pula. Seperti yang akhir-akhir ini sering terjadi, sang mega bintang sepakbola Real Madrid Cristiano Ronaldo dikabarkan meninggal dunia begitu juga artis grup band Noah, Ariel juga dikabarkan sedemikian.

Dalam pengantar artikel tentang Citizen Journalism di Nieman Report, sebuah jurnal tentang jurnalisme yang diterbitkan Harvard University disebutkan bahwa Dan Gillmor, penulis buku “We the Media: Grassroots Journalism by the People, for thePeople” berpendapat bahwa telah muncul ekosistem media baru yang memungkinkan adanya percakapan multidirectional yang memperkaya dialog di tataran masyarakat sipil.

Sementara Jean K. Min, direktur Ohmynews Internasional memiliki pandangan cukup menohok jurnalis profesional dengan mengatakan bahwa pembaca bukan lagi konsumen pasif dari reporter-reporter arogan, namun pihak aktif yang membuat dan mengonsumsi berita yang mereka buat sendiri.

Dengan hal-hal sedemikian kontribusi Citizen Journalism sendiri, bisa dilihat dari berbagai peristiwa di belahan bumi yang penyebaran informasinya justru bersumber dari blog warga yang dalam hal ini berperan sebagai Citizen Journalism. Kemudian hal ini juga menjadi kehawatiran bagi media profesional, karena Citizen Journalism kurang memperhatikan kode etik jurnalistik.

Budiono Dharsono, pemimpin redaksi Detik mengemukakan kekhawatirannya, Situs terbaik di Indonesia denga 7,5 juta page view per hari mengakui bahwa kekhawatiran akan turunnya kredibilitas portalnya, kemungkinan masalah hukum dan kurangnya pemahaman atas kode etik jurnalistik dari reporter warga membuat Detik setengah hati menerapkan Citizen Journalism. Mereka menerima foto pembaca sejak tahun 2004 dan menampilkannya di situs Detik jika foto tersebut benar. Mereka juga tidak menampilkan berita dari warga, akan tetapi hanya menindaklanjuti laporan dari warga.

Maka dari itu, berdasaran kasus-kasus yang telah terjadi di era Citizen Journalism ini, masyarakat (penikmat berita) diharapkan mampu lebih selektif dalam memilih berita yang mereka konsumsi. Bukan serta merta menerima secara mentah-mentah berita ataupun tulisan berupa artikel dari Citizen Journalism. Akan tetapi, mampu menilai secara kode etik jurnalistik serta memperhatikan kebenarannya. Terutama yang berasal dari web atau blog-blog yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Selain itu, disini dianggap perlu bagi media professional untuk mampu memperhatikan berita yang seharusnya tidak layak beredar. Kemudian mereka disini hadir sebagai penyelaras pada pemberitaan yang selayanya. Sehingga publik tidak salah terima akan suatu berita atau artikel dari Citizen Juornalism yang tidak bertanggung jawab serta tidak layak publis tersebut.

*pernah dipublikasikan di www.lpmedukasi.com
Kamis, 07 April 2016 0 komentar

Salah Jurusan, Bukan Pantangan

Doc.Internet   



Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

            Akhir tahun masa kita sekolah tepatnya di kelas tiga SMA merupakan masa-masa yang begitu menentukan. Bagaimana tidak? Kita pastinya disibukkan oleh Ujian Nasional dan Ujian Akhir Sekolah yang menjadi penentu kelulusan. Selain itu, kita juga dituntut untuk memilih kemana akan melanjutkan studi serta jurusan apa yang kita ambil nanti.  Jika kita belum pernah memikirkan sebelumnya pastilah akan bertanya-tanya. Mau ambil jurusan apa ya? Ke Universitas apa ya baiknya?. Hal inilah yang sering kali membuat kita salah dalam mengambil jurusan, karena kurangnya pertimbangan yang matang.

            Sebelum saya  menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab di UIN walisongo semarang saat ini. Awalnya saya juga mengalami hal demikian, dimana  saya mulai kebingungan ketika disuruh memilih jurusan apa yang akan dipilih. Pada saat itu, saya memilih jurusan pendidikan ekonomi sebagai prioritas. Akan tetapi, pada realitanya saya justru diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Arab yang menjadi pilihan kedua. Akhirnya mau tidak mau saya harus mengambil pilihan tersebut , karena tidak ada alternatif jurusan lain.

            Ketika sudah mulai kuliah, saya masih merasakan kegilisahan karena jurusan yang tidak sesuai keinginanku. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya saya malah dapat passion ku sendiri yaitu di bidang jurnalistik. Saya bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di UIN Walisongo Semarang yang menjadi salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di luar kegiatan perkuliahan. Hemat saya, ketika kita mengalami salah jurusan, janganlah hal ini menjadikan kita putus semangat untuk terus belajar. Akan tetapi, tetap jalani apa yang kita dapatkan saat ini, serta percaya bahwa pasti nantinya ada jalan yang terbaik buat kita kedepan.
 
;