Selasa, 24 Maret 2015 0 komentar

Museum Makin Sepi Peminat



Museum Makin Sepi Peminat
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

“Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” atau disingkat Jasmerah merupakan semboyan terkenal yang diucapkan oleh Bung Karno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966.
Dari kalimat yang disebutkan di atas tadi, memang sudah begitu jelas dikatakan kalau kita sebagai warga Negara Indonesia seharusnya mengingat jasa para pahlawan yang  dengan tumpah darah mereka menjadikan Negara Indonesia ini merdeka. Tentunya semua itu dapat dilakukan dengan mempelajari sejarahnya. Mempelajari sejarah itu bisa dilakukan dengan mengunjungi museum-museum yang sudah banyak tersebar di Indonesia.
Akan tetapi sekarang ini museum malah mendapatkan citra buruk di mata masyarakat. Museum menurut mereka tak ubahnya seperti tempat penyimpanan benda-benda kuno berdebu yang tak digunakan lagi. Museum digambarkan seperti tempat yang menyeramkan, sehingga jarang sekali kita temukan para pelajar, tenaga pendidik, maupun masyarakat umum mengunjungi museum pada hari libur. Museum hari ini terkesan diabaikan dan semua orang tidak peduli dengan apa yang kita sebut sebagai gudang masa lalu ini.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang ini, apa yang terjadi dengan museum tanpa adanya partisipasi serta dukungan masyarakat dan pemerintah? Pemerintah beserta jajarannya harus lebih aktif mempromosikan bahwa museum memiliki segudang pengetahuan dan ilmu.
            Dalam penataanya museum-museum di Indonesia bisa di bilang belum begitu bagus. Misalnya museum meletakkan benda-benda di dalam lemari kaca atau dipajang saja tanpa adanya penjelasan yang memadai. Kurangnya perawatan museum juga menjadi salah satu penyebab museum kurang diminati.
Di tengah arus globalisasi dengan hadirnya teknologi-teknologi canggih, serta kebudayaan asing yang menggerus kebudayaan lokal dan membawa anak muda sekarang ke dalam arusnya. Disaat itu pula museum-museum Indonesia menjadi sangat jauh tertinggal dari perkembangan zaman. Hari ini yang menjadi dominasi kunjungan masyarakat adalah pusat perbelanjaan, bioskop, dan tempat hiburan lainnya. jikalau ada yang berkunjung ke museum pun itu hanya sekedar eksis belaka dan hanya di jadikan ajang untuk di tampilkan di dunia maya, bukan untuk mempelajari hal-hal yang terkandung di museum tersebut.
Dilihat dari fungsinya sendiri, seharusnya museum tidak hanya menyuguhkan pendidikan sejarah saja. Akan tetapi, pendidikan kebudayaan juga bisa kita dapatkan di museum. Kemudian  jenis dan kriteria museum dibuat semakin beragam dan menarik seperti museum bencana, museum teknologi dan banyak lagi jenis museum lainnya. Museum-museum seperti inilah yang diharapkan bisa memberikan keunikan dan daya tarik bagi pengunjung dan masyarakat umumnya. Dengan begitu museum-meseum akan menjadi tempat yang ramai dan banyak diminati pengunjung.
0 komentar

UIN, Wadah Islamisasi Keilmuan



UIN, Wadah Islamisasi Keilmuan
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

Konversi UIN tak sekedar proyek fisik belaka. Akan tetapi berlanjut dengan kritik terhadap bangunan epistemologi dan pemikiran Barat untuk kemudian memperbaikinya dengan Islamisasi keilmuan.
             Dewasa ini konversi Institut Agama Islam Negeri (IAIN-red) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN-red) seakan sudah menjadi keharusan. Perubahan ini merupakan wujud pengharapan umat Islam agar Pendidikan Islam di kemudian hari bisa menatap masa depan lebih baik. Yang terbaru konversi IAIN Walisongo Semarang menjadi UIN Walisongo Semarang. Tentu saja perubahan ini bukanlah sekadar perubahan status belaka, dari semula institut menjadi universitas. melainkan disini mengharuskan terjadinya perubahan hampir di seluruh aspek seperti ideologi-konseptual, sistem administrasi serta manajerial.
            Konversi ini sendiri merupakan sebuah keniscayaan bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan sesungguhnya sangat diharapkan oleh kaum Muslimin. Bahkan kini mulai terasa sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak bagi kalangan Muslim kelas menengah keatas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial seperti ini kemudian menjadi tema sentral dan momen untuk berkaca diri bagi pengelola lembaga pendidikan Islam dalam melakukan pembaharuan dan pengembangan. Namun perlu disadari sedari awal bahwa pengembangan pendidikan Islam bukanlah perkara yang enteng dan mudah. sebab memerlukan adanya perencanaan yang ekstra matang, utuh, terpadu dan menyeluruh.
            Melihat dari sejarahnya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang ada saat ini merupakan titik perjuangan umat Islam yang mengharapkan adanya lembaga pendidikan Islam setingkat perguruan tinggi. Semangat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam bisa dilacak sejak zaman penjajahan. Satiman Wirdjosandjojo pernah melontarkan gagasan mengenai pentingnya PTAI dalam upaya mengangkat harkat kaum Muslimin ditanah Hindia Belanda kala itu. Tulisannya diantaranya yaitu bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, pengajaran (onderwijs) agama di lingkungan pesantren sudah memadai untuk keperluan umum, akan tetapi setelah  Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama.
            Pengembangan dan konversi IAIN menjadi UIN tentu bukanlah sekadar proyek fisik, dengan hanya menggubah struktur gedung menjadi lebih luas dan mentereng melainkan proyek tersebut merupakan proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Tentunya tetap kembali pada sejarah awalnya tadi, lembaga pendidikan islam ini diharapkan untuk menyempurnakan tradisi pesantren dengan menambah wawasan intelektual di dalamnya.
            Berangkat dari hal tersebut, UIN yang dianggap lebih unggul dari IAIN memang perannya harus realistis. Mengingat dengan pengeintegrasian sains dan agama ditubuh UIN, maka diharapkan kalangan intelektual yang bernaung didalamnya dapat berbicara lebih banyak serta berperan aktif dalam hubungannya dengan instalasi produk pemikiran ditengah-tengah masyarakat informasi. Seterusnya, pola ini akan berlanjut dengan kritik terhadap bangunan epistemologi dan pemikiran Barat untuk kemudian memperbaikinya dengan Islamisasi Ilmu.
0 komentar

Kebijakan Yang Tidak Produktif



Kebijakan Yang Tidak Produktif
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

          Kebijakan Birokrasi yang mewajibkan mahasiswa membawa amplop dan perangko saat perwalian kurang efektif dan efisien, karena dengan zaman yang sudah serba teknologis. Tentunya bisa lebih menguntungkan bagi semua pihak, baik itu pihak kampus, mahasiswa, maupun orang tua.

                Dewasa ini, kebijakan baru yang dikeluarkan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK-red) Universitas Islam Negeri (UIN-red) Walisongo Semarang menuai pro-kontra dari kalangan mahasiswa. Kebijakan itu berupa diwajibkannya membawa amplop dan perangko ketika perwalian. Hal ini dilakukan guna mengirim Hasil Studi Semester (HSS-red) kepada orang tua mahasiswa. Dengan tujuan terjalinnya komunikasi antara pihak kampus dan orang tua mahasiswa tersebut.
            Namun, setelah kebijakan tersebut diberlakukan, justru menimbulkan banyak permasalahan. Seperti yang terjadi pada saat perwalian(18-24/03). Mahasiswa kesulitan untuk mendapatkan perangko, dikarenakan minimnya jumlah perangko . Tentunya hal ini membuat sebagian mahasiswa mengeluhkan dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pihak kampus.
            Mengeluarkan kebijakan tanpa pengalokasian dana dengan menyediakan keperluan yang dibutuhkan mahasiswa seperti amplop dan perangko, tentunya kebijakan ini hanya menguntungkan sebelah pihak. Karena dalam menentukan kebijakan ini kampus hanya mengambil usulan dari orang tua mahasiswa dalam acara pertemuan wali, dan itupun tidak semua tamu undangan hadir.
            Perangko dengan nilai Rp.5000 yang dibebankan kepada mahasiswa, serasa tak sebanding dengan dampak yang didapat mahasiswa dalam segi material. Mahasiswa justru kesulitan hanya untuk mendapatkan perangko dengan harus mengeluarkan biaya dan tenaga. Jika dikalkulasi dengan jumlah mahasiswa FITK sekitar 3000 mahasiswa, tentu jumlah dana yang digunakan untuk hal ini tidak sedikit. Sehingga serasa dana ini terbuang sia-sia.
 Selain itu, kebijakan ini juga kurang efektif dan efisien, Karena dengan zaman yang sudah modern dan  berbasis teknologi. Mahasiswa masih harus memakai sarana yang justru membuang waktu mereka.
Hemat saya, dalam hal ini pengoptimalan teknologi tentu lebih efektif dan efisien. Semisal menggunakan media via SMS.  Pihak kampus yang sudah memiliki data nomor handphone (HP) orang tua mahasiswa tentu dapat menginformasikan HSS lebih mudah. Tanpa harus membuat mahasiswa kesulitan dengan cara pengiriman memakai amplop dan perangko.
 Dengan total dana dari nilai perangko yang digunakan oleh sekian banyak mahasiswa FITK. Tentunya jumlah dana ini lebih baik dipergunakan untuk hal yang dampaknya lebih bermanfaat bagi mahasiswa. Seumpama dipergunakan untuk penelitian yang berguna untuk menunjang mahasiswa dalam penelitian. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi mahasiswa dan kampus itu sendiri. Karena dengan demikian, akan sesuai dengan visi misi UIN Walisongo yang berbasis research Islamic university.

*pernah dipublikasikan di www.lpmedukasi.com
Sabtu, 14 Maret 2015 0 komentar

KRS online menuai Problematika



KRS online menuai Problematika
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

                Masalah Kanrtu Rencana Studi (KRS-red) online yang menimpa sebagian mahasiswa di awal perkuliahan perlu adanya komunikasi yang jelas antara mahasiswa, dosen, dan bagian akademik yang mana harus memberikan sosialisasi tentang problem KRS secara jelas.

            Kartu Rencana Studi atau yang lebih dikenal dengan KRS sekiranya bukan hal asing lagi bagi mahasiswa. Dengan KRS, mahasiswa diberikan wewenang untuk menginput mata kuliah yang akan ditempuh selama satu semester ke depan.
            Seiring berkembangnya teknologi, sistem penginputan mata kuliah yang biasanya dilakukan secara manual. yaitu dengan menuliskan nama mata kuliah dan memilih dosen pengampu mata kuliah sudah mulai ditinggalkan. Mayoritas universitas telah memberlakukan system online  yang menjamin kemudahan administrasi mahasiswa. seperti yang sudah di berlakukan di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Saat ini.
            Namun, bukan berarti pemberlakuan sistem KRS online ini berjalan sesuai harapan.. Sistem yang secara penuh menggunakan teknologi internet, dan jaringannya ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan. Seperti pada saat ini, di awal-awal perkuliahan para mahasiswa dibuat resah karena nama mahasiswa tidak muncul pada daftar absensi kelas. Hal ini muncul akibat tidak adanya komunikasi yang baik antara mahasiswa dan dosen wali dalam proses penginputan mata kuliah. Sehingga, terjadilah problem KRS yang belum disetujui oleh dosen wali.
            Dosen wali menjadi orang yang bertanggung jawab untuk menyetujui mata kuliah justru mempersulit permasalahan ini. Para mahasiswa harus menyelesaikan KRS dengan proses yang bagi mereka sangat rumit. Tentu hal ini, menjadikan performa mahasiswa down di awal kuliah mereka.
            Hemat saya sistem KRS online memang membantu mahasiswa dalam proses pengambilan mata kuliah secara lebih efisien dalam hal waktu. Akan tetapi, dalam kasus ini seharusnya dari semua pihak ada komunikasi yang jelas baik itu mahasiswa, dosen wali, maupun dari bagian akademik itu sendiri.
Selain itu, bagian akademik juga setidaknya mengadakan sosialisasi tentang KRS online yang mengalami masalah seperti ini. Dan kemudian memberikan solusi yang dapat memudahkan para mahasiswa untuk mampu menginput mata kuliah mereka yang belum disetujui. Sehingga para mahasiswa pun tidak dibuat resah kembali dengan hal-hal sedemikian.

*pernah dipublikasikan di www.lpmedukasi.com
 
;