Selasa, 24 Maret 2015

UIN, Wadah Islamisasi Keilmuan



UIN, Wadah Islamisasi Keilmuan
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza

Konversi UIN tak sekedar proyek fisik belaka. Akan tetapi berlanjut dengan kritik terhadap bangunan epistemologi dan pemikiran Barat untuk kemudian memperbaikinya dengan Islamisasi keilmuan.
             Dewasa ini konversi Institut Agama Islam Negeri (IAIN-red) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN-red) seakan sudah menjadi keharusan. Perubahan ini merupakan wujud pengharapan umat Islam agar Pendidikan Islam di kemudian hari bisa menatap masa depan lebih baik. Yang terbaru konversi IAIN Walisongo Semarang menjadi UIN Walisongo Semarang. Tentu saja perubahan ini bukanlah sekadar perubahan status belaka, dari semula institut menjadi universitas. melainkan disini mengharuskan terjadinya perubahan hampir di seluruh aspek seperti ideologi-konseptual, sistem administrasi serta manajerial.
            Konversi ini sendiri merupakan sebuah keniscayaan bahwa kehadiran lembaga pendidikan Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan sesungguhnya sangat diharapkan oleh kaum Muslimin. Bahkan kini mulai terasa sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak bagi kalangan Muslim kelas menengah keatas yang secara kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial seperti ini kemudian menjadi tema sentral dan momen untuk berkaca diri bagi pengelola lembaga pendidikan Islam dalam melakukan pembaharuan dan pengembangan. Namun perlu disadari sedari awal bahwa pengembangan pendidikan Islam bukanlah perkara yang enteng dan mudah. sebab memerlukan adanya perencanaan yang ekstra matang, utuh, terpadu dan menyeluruh.
            Melihat dari sejarahnya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang ada saat ini merupakan titik perjuangan umat Islam yang mengharapkan adanya lembaga pendidikan Islam setingkat perguruan tinggi. Semangat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam bisa dilacak sejak zaman penjajahan. Satiman Wirdjosandjojo pernah melontarkan gagasan mengenai pentingnya PTAI dalam upaya mengangkat harkat kaum Muslimin ditanah Hindia Belanda kala itu. Tulisannya diantaranya yaitu bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, pengajaran (onderwijs) agama di lingkungan pesantren sudah memadai untuk keperluan umum, akan tetapi setelah  Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama.
            Pengembangan dan konversi IAIN menjadi UIN tentu bukanlah sekadar proyek fisik, dengan hanya menggubah struktur gedung menjadi lebih luas dan mentereng melainkan proyek tersebut merupakan proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Tentunya tetap kembali pada sejarah awalnya tadi, lembaga pendidikan islam ini diharapkan untuk menyempurnakan tradisi pesantren dengan menambah wawasan intelektual di dalamnya.
            Berangkat dari hal tersebut, UIN yang dianggap lebih unggul dari IAIN memang perannya harus realistis. Mengingat dengan pengeintegrasian sains dan agama ditubuh UIN, maka diharapkan kalangan intelektual yang bernaung didalamnya dapat berbicara lebih banyak serta berperan aktif dalam hubungannya dengan instalasi produk pemikiran ditengah-tengah masyarakat informasi. Seterusnya, pola ini akan berlanjut dengan kritik terhadap bangunan epistemologi dan pemikiran Barat untuk kemudian memperbaikinya dengan Islamisasi Ilmu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;