UIN, Wadah Islamisasi Keilmuan
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza
Konversi
UIN tak sekedar proyek fisik belaka. Akan tetapi berlanjut dengan kritik
terhadap bangunan epistemologi dan pemikiran Barat untuk kemudian memperbaikinya
dengan Islamisasi keilmuan.
Dewasa
ini konversi Institut Agama Islam Negeri (IAIN-red) menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN-red) seakan sudah menjadi keharusan. Perubahan ini merupakan wujud
pengharapan umat Islam agar Pendidikan Islam di kemudian hari bisa menatap masa
depan lebih baik. Yang terbaru konversi IAIN Walisongo Semarang menjadi UIN Walisongo
Semarang. Tentu saja perubahan ini bukanlah sekadar perubahan status belaka,
dari semula institut menjadi universitas. melainkan disini mengharuskan terjadinya
perubahan hampir di seluruh aspek seperti ideologi-konseptual, sistem
administrasi serta manajerial.
Konversi
ini sendiri merupakan sebuah keniscayaan bahwa kehadiran lembaga pendidikan
Islam yang berkualitas dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan sesungguhnya
sangat diharapkan oleh kaum Muslimin. Bahkan kini mulai terasa sebagai sebuah
kebutuhan yang mendesak bagi kalangan Muslim kelas menengah keatas yang secara
kuantitatif terus meningkat belakangan ini. Fenomena sosial seperti ini
kemudian menjadi tema sentral dan momen untuk berkaca diri bagi pengelola
lembaga pendidikan Islam dalam melakukan pembaharuan dan pengembangan. Namun
perlu disadari sedari awal bahwa pengembangan pendidikan Islam bukanlah perkara
yang enteng dan mudah. sebab memerlukan adanya perencanaan yang ekstra matang,
utuh, terpadu dan menyeluruh.
Melihat
dari sejarahnya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang ada saat ini
merupakan titik perjuangan umat Islam yang mengharapkan adanya lembaga
pendidikan Islam setingkat perguruan tinggi. Semangat untuk mendirikan semacam
lembaga pendidikan tinggi Islam bisa dilacak sejak zaman penjajahan. Satiman
Wirdjosandjojo pernah melontarkan gagasan mengenai pentingnya PTAI dalam upaya
mengangkat harkat kaum Muslimin ditanah Hindia Belanda kala itu. Tulisannya
diantaranya yaitu bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, pengajaran (onderwijs)
agama di lingkungan pesantren sudah memadai untuk keperluan umum, akan tetapi
setelah Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama.
Pengembangan
dan konversi IAIN menjadi UIN tentu bukanlah sekadar proyek fisik, dengan hanya
menggubah struktur gedung menjadi lebih luas dan mentereng melainkan proyek
tersebut merupakan proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan
perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif.
Tentunya tetap kembali pada sejarah awalnya tadi, lembaga pendidikan islam ini
diharapkan untuk menyempurnakan tradisi pesantren dengan menambah wawasan
intelektual di dalamnya.
Berangkat
dari hal tersebut, UIN yang dianggap lebih unggul dari IAIN memang perannya
harus realistis. Mengingat dengan pengeintegrasian sains dan agama ditubuh UIN,
maka diharapkan kalangan intelektual yang bernaung didalamnya dapat berbicara
lebih banyak serta berperan aktif dalam hubungannya dengan instalasi produk
pemikiran ditengah-tengah masyarakat informasi. Seterusnya, pola ini akan
berlanjut dengan kritik terhadap bangunan epistemologi dan pemikiran Barat
untuk kemudian memperbaikinya dengan Islamisasi Ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar